ALLNiteCafe Site

Ikon

Allnitecafe Global Tips & Guide! | Tips Chatting MIRC & Yahoo! Messenger | Hacking | Browsing | All The best Solution. It's all here!

Manfaat Pelukan Bagi Suami Istri

foto-romantis1Pelukan, meskipun hanya dilakukan sebentar, ternyata mendatangkan banyak manfaat bagi suami istri. Berikut ini adalah tiga diantara sekian banyak manfaat pelukan bagi suami istri beserta penjelasan ilmiahnya: Baca entri selengkapnya »

Filed under: Hikayat Cinta, , , ,

5 Bentuk Penghargaan Terhadap Suami

keluargabahagia

Setiap orang pasti ingin memiliki keluarga yang bahagia, namun rumah tangga yang bahagia ternyata tak terjadi begitu saja lho. Ada usaha yang harus dilakukan dan tak selamanya usaha itu terlihat mudah. Salah satunya adalah harus saling menghargai satu dengan lainnya. Bagaimana yang dimaksud dengan saling menghargai? [Image]

Filed under: Hikayat Cinta, ,

CINTA ILAHI

Cinta  diarahkan  oleh  kecerdasan.  Karena  itu  tiap  orang  memilih  obyek  cintanya  sesuai  dengan tingkat   evolusinya.   Obyek   itu   tampak   baginya   paling   berhak   atas   cinta   menurut   tingkatan evolusinya.  Di  Timur  ada  pepatah,  “Sebagaimana  jiwa,  demikianlah  malaikatnya.”  Keledai  lebih menyukai rumput berduri daripada mawar.

Kesadaran  yang  bangkit  di  alam  materi  memiliki  obyek  cinta  hanya  pada  keindahan  duniawi. Kesadaran  yang  bekerja  melalui  pikiran  menemukan  obyeknya  dalam  gagasan  dan  di  antara orang-orang yang berpikir. Kesadaran yang bangkit melalui hati menyukai cinta dan orang-orang yang mencintai. Kesadaran yang bangkit di dalam jiwa mencintai ruh dan spiritual.

Cinta  tanpa  kata,  yang  merupakan  inti  ilahi  di  dalam  manusia,  menjadi  aktif  dan  hidup  ketika melihat  keindahan.  Keindahan  dapat  dijelaskan  sebagai  kesempurnaan,  kesempurnaan  dalam setiap aspek keindahan. Cinta itu sendiri bukanlah Allah atau esensi Allah, tetapi juga keindahan, bahkan  dalam  aspek  yang  terbatas,  membeberkan  diri  sebagai  perwujudan  Keberadaan  yang sempurna.

Kerajaan    mineral    berkembang    menjadi    emas,    perak,    berlian,    dan    permata, menunjukkan keindahannya. Buah dan bunga, manis dan harumnya menunjukkan kesempurnaan kerajaan tumbuh-tumbuhan. Bentuk, corak, dan kemudaan menunjukkan kesempurnaan kerajaan hewan.

Keindahan   kepribadian   merupakan   kesempurnaan   yang   nyata   di   dalam   manusia. Beberapa orang di dunia ini hidupnya tenggelam dalam pencarian emas, perak, dan batu permata. Mereka  rela  mengorbankan  apapun  dan  siapapun  untuk  memperoleh  obyek  cinta  mereka. Beberapa  orang  lain  hidupnya  terserap  dalam  keindahan  buah-buahan,  bunga,  dan  taman. Mungkin  mereka  tak  tertarik  obyek  lain.  Beberapa  orang  terserap  dalam  mengagumi  keindahan dan  kemudaan  lawan  jenis  kelaminnya,  dan  hal-hal  lain  tampak  tak  bernilai.  Orang  lain  terpaku pada  keindahan  kepribadian  seseorang,  dan  telah  sepenuhnya  membaktikan  diri  kepada  orang yang  mereka  cintai  baik  di  sini  maupun  di  hari  kelak.

Semua  orang  mempunyai  obyek  cinta menurut  standar keindahannya  sendiri,  dan  setiap  orang  mencintai  kesempurnaan  Keberadaan ilahi dalam aspek tertentu. Ketika orang melihat ini, tak seorang pun, bijak atau bodoh, pendosa atau  orang  baik,  tak  dapat  disalahkan  dalam  pandangannya.  Ia  melihat  dalam  setiap  hati  jarum kompas   yang   mengarah   ke   Keberadaan   yang   sama.   “Allah   itu   indah   dan   Dia   menyukai keindahan,” seperti disebutkan di dalam Hadits.

Manusia  tak  pernah  mampu  mencintai  Allah  di  surga  bila simpatinya  belum  bangkit  terhadap keindahan di bumi.

Seorang  perawan  desa  sedang  pergi  untuk  menemui  kekasihnya.  Ia  melewati  seorang  Mullah yang sedang melakukan shalat. Karena tidak tahu, ia berjalan di depan Mullah itu, suatu hal yang dilarang oleh agama. Mullah itu sangat marah, hingga ketika gadis itu kembali lewat di dekatnya, ia memarahinya. Ia berkata. “Alangkah berdosanya, hai gadis muda, berjalan di depanku ketika aku sedang shalat.

” Gadis itu berkata, “Apa artinya shalat?” Dijawab, “Aku sedang memikirkan Allah, Tuhan langit dan bumi.” Gadis itu berkata, “Maafkan aku, aku belum tahu Allah dan shalat bagi- Nya, tetapi tadi aku sedang berjalan menuju kekasihku dan memikirkan kekasihku, hingga aku tak melihatmu  sedang  shalat.  Aku  heran  bagaimana  anda  yang  sedang  memikirkan  Allah  dapat melihatku?” Perkataan gadis itu sangat berkesan pada Mullah hingga ia berkata, “Sejak saat ini, hai gadis, engkau adalah guruku. Akulah yang harus belajar darimu.”

Suatu  ketika  seseorang  datang  kepada  Jami  dan  minta  agar  dijadikan  muridnya.  Jami  berkata, “Pernahkah  engkau  mencintai  seseorang  dalam  hidupmu?”  Ia  menjawab,  “Tidak.”  Jami  berkata,
“Kalau begitu, pergilah dan cintailah seseorang, dan kemudian datanglah kepadaku.”

Dengan  alasan  itulah  para  guru  besar  sering  mengalami  kesulitan  dalam  membangkitkan  cinta kepada Allah di dalam rata-rata manusia. Orang tua memberi boneka kepada anak perempuannya agar   anak   itu   tahu   bagaimana   memberi   pakaian   kepadanya,   bagaimana   menyayanginya, bagaimana menjaganya, bagaimana mencintai dan mengaguminya; hal ini melatih anak agar kelak menjadi  ibu  yang  mencintai.  Tanpa  latihan  ini,  yang  kemudian  akan  menjadi  sulit.  Cinta  ilahi merupakan  hal  yang  asing  bahwa  rata-rata  orang  karena  sentuhan  keibuan  terhadap  anak gadisnya tidak dapat dimainkan secara penuh terhadap boneka.

Seorang  murid  telah  lama  melayani  pembimbing  spiritual,  tetapi  ia  tak  membuat  kemajuan  dan tidak  menerima  inspirasi.  Ia menghadap  gurunya  dan  berkata,  “Aku  telah  melihat  banyak  sekali murid  yang  menerima  inspirasi,  tetapi  aku  ini  begitu  malang  hingga  tak  memperoleh  kemajuan sama  sekali,  maka  kini  aku  harus  menyerah  dan  meninggalkanmu.

”  Guru  itu  memintanya  agar menghabiskan hari-hari terakhir di dalam sebuah rumah tertentu, dan setiap hari ia mengirimkan makanan  yang  lezat  dan  berkata  agar  ia  menghentikan  latihan  spiritual,  agar  memperoleh kehidupan yang nyaman dan santai. Pada hari terakhir ia mengirimi murid itu sekeranjang buah melalui seorang gadis cantik.

Gadis itu menata buah-buahan dan segera pergi meskipun murid itu berusaha untuk menahannya. Kecantikan dan pesonanya sangat besar, hingga murid itu sangat mengagumi dan terpikat olehnya, dan ia tak memikirkan hal-hal lain. Setiap jam dan setiap menit murid itu hanya rindu untuk bertemu lagi dengannya.

Kerinduannya bertambah setiap saat. Ia lupa untuk  makan,  ia  dipenuhi  air  mata  dan  napas  panjang,  karena  hatinya  kini  menjadi  hangat  dan lumer  oleh  api  cinta.  Setelah  beberapa  lama,  ketika  guru  mengunjungi  murid  itu,  dengan  satu pandangan ia memberi inspirasi kepadanya. “Baja pun dapat dibentuk bila dipanasi di dalam api,” demikian pula dengan hati yang dilumerkan dengan api cinta.

Ada  anggur  cinta  yang  disebut  Sherab-i  Kauthar,  anggur  yang  terdapat  di  dalam  surga.  Ketika mabuk cinta meningkat di dalam manusia, ia disebut cinta buta atau gila dalam cinta, karena orang yang  melihat  ilusi  di  permukaan  menganggap  diri  sendiri-lah  yang  sadar  dan  terjaga.  Tetapi keterjagaan mereka adalah terhadap tipuan, bukan terhadap realita.

Meskipun pecinta disebut gila, kegilaannya  terhadap  satu  obyek  dunia  ilusi  akan  membuatnya  secara  bertahap  terbebas  dari semua tipuan di sekelilingnya. Bila ia berhasil, ia akan menikmati penyatuan dengan kekasihnya di dalam  visi  bahagianya.  Maka  dengan  seketika  tersingkaplah  selubung  [hijab]  yang  menutupi pandangannya terhadap obyek yang dicintainya. Al Qur’an menyebutkan, “Kami akan mengangkat hijab dari matamu dan pandanganmu akan menjadi tajam.”

Secara alami, seorang pecinta terobsesi oleh seseorang yang dikaguminya, yang ia ingin bersatu dengannya. Tetapi tak ada satu obyek pun di dunia ini yang sempurna hingga dapat memuaskan keinginan hati yang mencintai. Ini merupakan batu penghalang yang menyebabkan setiap pemula gagal  dalam  mencintai.

Pejalan  yang  berhasil  di  jalur  cinta  adalah  orang-orang  yang  cintanya begitu  indah  hingga  memberi  keindahan  yang  tidak  didapat  di  dalam  idaman  mereka.  Dengan melakukan  ini,  pada  saatnya  pecinta  akan  terangkat  ke  atas  keindahan  kekasih  yang  berubah- ubah dan terbatas, tetapi mulai melihat ke dalam keberadaan terdalam kekasihnya.

Dengan kata lain,  bagian  luar  kekasih  hanyalah  sarana  untuk  menarik  cinta  dari  hati  pecinta,  tetapi  cinta  itu mengantarkannya dari luar ke lapisan terdalam dari kesempurnaan cintanya. Bila di dalam idaman itu  pecinta  telah  merasakan  keberadaan  yang  tak  terbatas  dan  sempurna,  apakah  ia  mencintai manusia atau Allah, sesungguhnya ia adalah pecinta yang sempurna.

Di  sini  perjalanan  melalui  jalur  idealisme  berakhir,  dan  perjalanan  melalui  kesempurnaan  ilahi dimulai, karena kesempurnaan Allah diperlukan bagi pencapaian kesempurnaan hidup. Kemudian manusia mencari obyek cinta yang sempurna, mengidealkan Allah, Keberadaan tunggal, Yang Tak Terhingga, yang berada di atas semua cahaya dan kegelapan dunia, di atas baik dan buruk, yang bebas dari semua keterbatasan, bebas dari kelahiran dan kematian, tak berubah, tak terpisahkan dari kita, Maha meliputi (berada), selalu hadir di depan mata pecinta-Nya.

Bila cinta itu sejati, ia melenyapkan pementingan diri sendiri, karena ini merupakan satu-satunya solusi untuk menghapus ego. Ungkapan “jatuh cinta” [fall in love] membawa gagasan sifat cinta yang sesungguhnya. Benar-benar jatuh dari ketinggian ego ke tanah ketiadaan,  tetapi sekaligus kejatuhan ini akan membuatnya naik, karena seberapa dalamnya pecinta jatuh, sedemikian pula tingginya ia akan meningkat pada akhirnya. Pecinta yang jatuh dalam cinta adalah seperti benih yang  jatuh  ke  tanah.  Keduanya  tampak  rusak,  tetapi  keduannya  pada  saatnya  akan  tumbuh bersemi dan menghasilkan buah bagi dunia yang senantiasa lapar.

Musuh  terbesar  manusia  adalah  ego-nya,  gagasan  mengenai  diri  sendiri.  Ini  merupakan  kuman yang  menghasilkan  semua  keburukan  dalam  manusia.  Perbuatan  baik  seorang  egois  berubah menjadi  dosa,  dan  dosa  kecilnya  berubah  menjadi  kejahatan  besar.  Semua  agama  dan  filsafat mengajar manusia untuk menindasnya, dan tak ada alat yang dapat melumatkannya dengan lebih baik  daripada  cinta.  Tumbuhnya  cinta  adalah  kematian  ego.  Cinta  yang  sempurna  sepenuhnya membebaskan  pecinta  dari  pementingan  diri  sendiri,  karena  cinta  dapat  disebut  juga  dengan peniadaan [annihilation]. “Sesiapa yang memasuki sekolah cinta, pelajaran pertama yang diterima adalah menjadi bukan apa-apa.”

Bersatu  tidak  mungkin  tanpa  cinta,  karena  hanya  cinta  yang  dapat  mempersatukan.  Setiap ungkapan cinta menandakan pencapaian penyatuan dengan obyeknya, dan dua obyek tak dapat bersatu kecuali salah satunya menjadi bukan apa-apa. Tak seorang pun mengetahui rahasia hidup ini  kecuali  pecinta.

Iraqi  berkata,  “Ketika  aku  tanpa  cinta  pergi  ke  Ka’bah  dan  mengetuk  pintu gerbang, sebuah suara datang: ‘Apa yang engkau lakukan di rumahmu hingga engkau datang ke sini?’ Dan ketika aku pergi, karena aku lenyap dalam cinta, dan mengetuk pintu gerbang Ka’bah, datanglah suara: ‘Datanglah, datanglah hai Iraqi, engkau adalah bagian dari kami.'”

Bila ada sesuatu yang melawan kebanggaan ego, ia adalah cinta. Sifat cinta adalah berserah diri. Dunia keragaman yang membagi kehidupan menjadi bagian-bagian yang terbatas, menyebabkan setiap  yang  lebih  kecil  berserah  diri  kepada  yang  lebih  besar.  Setiap  yang  lebih  besar,  baginya masih ada sesuatu yang lebih besar darinya; dan bagi setiap yang lebih kecil masih ada yang lebih kecil   darinya.

Sebagaimana   setiap   jiwa   secara   alami   cenderung   untuk   berserah   kepada kesempurnaan  dalam  semua  tingkatan,  satu-satunya  masalah  adalah  apakah  ia  mau  atau  tidak mau berserah diri. Yang pertama datang dari cinta, yang kedua datang dari ketakberdayaan yang membuat   hidup   susah.   Para   Sufi   tersentuh   ketika   membaca   di   dalam   Al   Qur’an   bahwa Keberadaan   sempurna   bertanya   kepada   jiwa-jiwa   yang   tak   sempurna,   anak-anak   Adam, “Siapakah  Tuhanmu?”  Menyadari  ketidaksempurnaannya,  mereka  menjawab  dengan  merendah, “Engkaulah  tuhanku.

”  Maka  berserah  diri  adalah  kutukan,  bila  orang  dipaksa  untuk  menyerah dengan dingin. Tetapi hal yang sama menjadi kegembiraan yang terbesar bila dilakukan dengan cinta dan dengan sukarela.

Cinta merupakan praktek moral Suluk, jalan kebaikan. Kegembiraan pecinta berada di dalam ridha kekasihnya.  Pecinta  puas  bila  kekasih  terpuaskan.  “Siapa  yang  dalam  hidup  memberkahi  orang yang mengutuknya? Siapa yang dalam hidup mengagumi orang yang membencinya? Siapa yang dalam hidup setia kepada orang yang tak setia? Tak lain dari seorang pecinta.” Dan pada akhirnya diri pecinta lenyap dari pandangannya, hanya wajah kekasih, wajah yang dirindukan, yang ada di depannya selamanya.

Cinta adalah inti semua agama, mistisisme, dan filsafat, dan orang yang telah belajar cinta ini telah memenuhi tujuan agama, etika dan filsafat, dan pecinta itu terangkat ke atas semua ragam agama dan kepercayaan.

Suatu saat Musa memohon kepada Tuhan bani Israel di gunung Sinai, “Hai Tuhan, Engkau telah begitu besar memberi kehormatan kepadaku dengan menjadikan aku utusan-Mu. Bila masih ada kehormatan  yang  lebih  besar,  aku  mohon  Engkau  datang  ke  rumahku  dan  membelah  roti  di  mejaku.”  Maka  datang  jawaban,  “Musa,  dengan  senang  hati  Kami  akan  datang  ke  rumahmu.” Musa menyiapkan makanan yang lezat dan menunggu dengan penuh harap kedatanggan Allah. Kebetulan, di depan pintu rumahnya lewat seorang pengemis yang berkata, “Musa, aku sakit dan lelah,  aku  tidak  makan  selama  tiga  hari  dan  aku hampir  mati.  Berilah  aku  sepotong  roti  dan selamatkan nyawaku.”

Karena  sangat  berharap  atas  kedatangan  Allah,  Musa  berkata  kepada  pengemis  itu,  “Tunggu, engkau akan kuberi lebih dari sepotong, dan makanan lain yang enak. Aku menunggu kedatangan tamu yang akan datang petang ini. Bila ia telah pergi, maka semua yang tersisa akan kuberikan kepadamu  agar  engkau  dapat  membawanya  pulang.”  Orang  itu  pergi  dan  waktu  berlalu,  tetapi Allah  tidak  datang,  maka  Musa  kecewa.

Keesokan  harinya  Musa  pergi  ke  Sinai  dan  menangis, “Tuhanku,  aku  tahu  Engkau  tidak  mengingkari  janji,  tetapi  dosa  apa  yang  aku  lakukan  hingga Engkau  tidak  datang  seperti  Engkau  janjikan?”  Allah  berkata  kepada  Musa,  “Kami  datang,  hai Musa, tetapi sayang, engkau tak mengenali Kami. Siapa pengemis di depan pintumu? Apakah ia bukan  Kami?  Kami-lah  yang  berada  di  dalam  semua  bentuk  yang  hidup  dan  bergerak  di  dunia, namun kami jauh di dalam langit abadi Kami.”

Keragaman   dapat   terjadi   dalam   agama-agama,   tetapi   motif   dari   semuanya   adalah   satu: menyuburkan  dan  menyiapkan  hati  manusia  bagi  cinta  ilahi.  Kadang-kadang  ruh  pembimbing menarik perhatian manusia agar melihat dan mengagumi keindahan Allah di langit, kadang-kadang di  dalam  pohon  dan  batu,  membuatnya  menjadi  pohon  sakral,  gunung  suci,  dan  sungai  yang menyucikan.

Kadang-kadang  ia  menuntun  perhatian  manusia  agar  melihat  keberadaan  Allah  di antara  hewan  dan  burung-burung,  dengan  menyebut  mereka  hewan  suci,  burung  sakral.  Ketika
manusia menyadari bahwa tak ada ciptaan yang lebih tinggi dari dirinya, ia berhenti menyembah ciptaan  yang  lebih  rendah,  karena  mengenali  cahaya  ilahi  yang  menjelma  di  dalam  manusia. Maka, dalam tahapan evolusi manusia, dunia melihat Allah di dalam manusia, terutama di dalam orang suci yang berkesadaran Allah.

Manusia dengan diri yang terbatas tak dapat melihat Allah, keberadaan yang sempurna, dan bila ia mampu  menggambarkan-Nya,  gambaran  yang  terbaik  adalah  manusia.  Bagaimana  ia  dapat membayangkan sesuatu yang belum pernah diketahuinya? “Kami menciptakan manusia menurut gambar  Kami  sendiri.

”  Krishna  bagi  orang  Hindu,  Buddha  bagi  para  Buddhis,  adalah  Allah  bagi manusia.   Para   malaikat   tak   pernah   digambarkan   dengan   bentuk   selain   manusia.   Bahkan penyembah  Allah  yang  tak  berbentuk  telah  mengidealkan  Allah  dengan  kesempurnaan  atribut manusia, meskipun ini hanya merupakan tangga untuk mencapai cinta dari Allah yang sempurna, yang diperoleh secara bertahap.

Hal  ini  dijelaskan  dalam  kisah  masa  lalu.  Suatu  ketika  Musa  berjalan  melalui  sebuah  padang ternak dan melihat seorang anak gembala berbicara kepada diri sendiri “Ya Tuhan, Engkau begitu baik hingga aku merasa bila Engkau berada di sini, aku akan menjagamu dengan lebih baik dari pada  semua  kambingku,  lebih  dari  semua  ayamku.  Bila  hujan  aku  akan  menempatkan-Mu  di bawah  atap  ilalang,  bila  dingin  aku  akan  menutup  diri-Mu  dengan  selimutku,  dan  bila  panas matahari menyengat aku akan membawamu mandi di sungai. Aku akan membawamu tidur dengan kepala-Mu di pangkuanku, aku akan mengipasimu dengan topiku, dan akan selalu mengawasimu dan menjagamu dari serigala.

Aku akan memberimu roti untuk makan dan susu untuk minum, dan untuk menghiburmu aku akan menyanyi dan menari dan memainkan serulingku. Ya Tuhanku, bila Engkau mendengarkan ini, datanglah dan lihat bagaimana aku akan memanjakan-Mu.”

Musa  terkejut  mendengar  semua  itu,  dan,  sebagai  pengantar  pesan  ilahi,  ia  berkata,  “Alangkah kurangajarnya engkau, hai anak gembala, dengan membatasi Dia yang tak berbatas, Allah, Tuhan alam  semesta,  yang  tak  berbentuk,  tak  berwarna  dan  tak  dapat  ditangkap  dengan  pemahaman manusia.” Anak gembala itu sedih dan takut atas apa yang telah dilakukannya. Namun kemudian datang  wahyu  kepada  Musa:  “Kami  ridha  dengan  perbuatannya,  hai  Musa,  karena  Kami  telah
mengutusmu  untuk  mempersatukan  keberadaan  Kami  yang  terpisah-pisah  dengan  Kami,  bukan untuk mencerai-beraikan. Berkatalah kepada setiap orang menurut tingkatan evolusinya.”

Hidup  di  dunia  penuh  dengan  kebutuhan,  tetapi  di  antara  berbagai  kebutuhan,  kebutuhan  akan sahabat adalah yang terpenting. Tiada kesedihan yang lebih besar dari kesedihan orang yang tak berteman. Bumi ini akan berubah menjadi surga bila seseorang menginginkan teman dalam hidup. Namun surga, dengan semua kesenangan yang diberikannya, akan menjadi neraka bila tak ada teman yang dicintai.

Jiwa  yang  berpikir  selalu  mencari  persahabatan  yang  berlangsung  lama.  Orang  bijak  lebih menyukai  seorang  teman  yang  mau  berjalan  bersamanya  dalam  sebagian  besar  perjalanan hidupnya. Miniatur dari perjalanan hidup kita dapat dilihat pada perjalanan biasa. Bila ketika kita pergi   ke   Swiss,   kita   berteman   dengan   seseorang   yang  membeli   tiket   ke   Bombay,   maka kebersamaan  dengannya  akan  berlangsung  beberapa  lama,  dan  sesudah  itu,  di  sepanjang  sisa perjalanan  kita  akan  pergi  sendirian.  Setiap  persahabatan  di  dunia  hanya  akan  berlangsung sebentar   dan   akan   berhenti.

Karena   perjalanan   kita   akan   melampaui   kematian,   bila   ada persahabatan yang kekal, maka persahabatan itu hanyalah dengan Allah, yang tak berubah dan tak  berakhir.  Tetapi  bila  kita  tak  dapat  melihat  dan  tak  dapat  menangkap  keberadaan-Nya,  tak mungkin  kita  berteman  dengan  seseorang  yang  tak  kita  sadari.  Dengan  Allah  sebagai  satu- satunya  sahabat,  persahabatan  dengan-Nya  adalah  satu-satunya  persahabatan  di  dunia  yang dapat   menuntun   kita   kepada   Kekasih   ilahi.   Banyak   di   antara   para   Sufi   yang   mencapai kesempurnaan  Allah  melalui  Rasul,  manusia  ideal.

Dan  orang  mencapai  pintu  Rasul  melalui Syekh,  mursyid  atau  pembimbing  spiritual,  yang  jiwanya  terfokus  kepada  ruh  Rasul  sehingga terkesan  oleh  kualitasnya.  Jalan  ini  menjadi  jelas  bagi  para  pejalan  di  jalur  pencapaian  Kekasih ilahi.

Persahabatan dengan Syekh tak punya motif selain bimbingan dalam mencari Allah. Persahabatan
itu akan berlangsung selama anda ada, selama anda mencari Allah, selama bimbingan diperlukan. Persahabatan    dengan    Syekh    disebut    Fana-fi-Syekh,    dan    ini    kemudian    berubah    menjadi
persahabatan  dengan  Rasul.  Bila  murid  menyadari  keberadaan  kualitas  spiritual  mursyid  yang lebih dari manusia biasa, itulah saatnya ia siap untuk Fana-fi-Rasul.

Persahabatan dengan Syekh adalah persahabatan dengan bentuk, dan bentuk itu dapat lenyap. Orang mungkin berkata, “Aku punya seorang ayah, tetapi sekarang sudah tiada.” Sesungguhnya, kesan tentang ayahnya masih ada di dalam pikirannya. Kebaktiannya kepada Rasul adalah seperti itu.  Nama  dan  kualitasnya  masih  ada  meskipun  bentuk  fisiknya  telah  lenyap  dari  bumi.  Rasul adalah personifikasi dari cahaya bimbingan yang diidealkan murid menurut tingkatan evolusinya.
Kapan  pun  murid  itu  mengingatnya,  di  darat,  di  udara  air,  di  dasar  laut,  ia  hadir  bersamanya. Kebaktian  kepada  Rasul  merupakan  tahapan  yang  tak  dapat  diabaikan  dalam  pencapaian  cinta
ilahi. Tahapan ini disebut Fana-fi-Rasul.

Setelah itu datanglah Fana-fi-Allah, ketika cinta kepada Rasul tenggelam ke dalam cinta kepada Allah.   Rasul   adalah   Guru   yang   diidealkan   karena   atributnya   yang   dicintai,   kebaikannya, kesuciannya, kasihnya. Keutamaannya dapat dipahami. Bentuknya tak diketahui, hanya namanya yang menunjukkan kualitasnya. Tetapi Allah adalah nama yang diberikan kepada kesempurnaan ideal di mana semua keterbatasan lenyap, dan dalam Allah ideal itu berakhir.

Seseorang  tak  kehilangan  persahabatan  dengan  mursyid  atau  dengan  Rasul,  tetapi  ia  melihat mursyid   di   dalam   Rasul   dan   melihat   Rasul   di   dalam   Allah.   Kemudian   untuk   memperoleh bimbingan, untuk memperoleh nasihat, ia hanya mencarinya dari Allah saja.

Ada  kisah  mengenai  Rabiah,  seorang  Sufi  besar,  bahwa  ia  pernah  melihat  Muhammad  dalam visinya dan ia ditanya oleh Nabi, “Hai Rabiah, siapa yang kau cintai?” Ia menjawab, “Allah.” Nabi  berkatka,  “Bukan  Rasul-Nya?”  ia  menjawab,  “Hai  Guru  yang  diberkahi,  siapa  di  dunia  ini  yang mengetahuimu tetapi tak mencintaimu? Tetapi kini hatiku begitu tenggelam dalam Allah hingga aku tak dapat melihat sesuatu kecuali Dia.”

Bagi mereka yang melihat Allah, Rasul dan Mursyid lenyap dari pandangan. Mereka hanya melihat Allah di dalam Mursyid dan Rasul. Mereka melihat segala sesuatu sebagai Allah dan tak melihat yang lain.

Dengan kebaktian kepada mursyid, murid belajar mencintai, berdiri dengan kerendahan anak kecil, pada  wajah  setiap  makhluk  di  bumi  ia  melihat  bayangan  wajah  mursyidnya.  Bila  Rasul  yang diidealkan,  ia  melihat  semua  yang  indah  terefleksi  di  dalam  kesempurnaan  Rasul  yang  tidak tampak.Kemudian ia menjadi independen bahkan dari keutamaan, yang juga memiliki kutub yang berseberangan, dan pada kenyataannya tidak ada, karena itu hanya perbandingan yang membuat sesuatu lebih baik daripada yang lain. Ia hanya mencintai Allah, kesempurnaan yang ideal, yang tak  dapat  dibandingkan.  Kemudian  ia  sendiri  berubah  menjadi  cinta,  dan  karya  cinta  telah diselesaikan.  Kemudian  pecinta  sendiri  berubah  menjadi  sumber  cinta,  asal  cinta,  dan  ia  hidup dalam  kehidupan  Allah,  yang  disebut  Baqa  bi-Allah.  Kepribadiannya  menjadi  kepribadian  ilahi.

Kemudian pikirannya menjadi pikiran Allah, perkataannya menjadi perkataan Allah, perbuatannya menjadi perbuatan Allah, dan ia sendiri menjadi cinta, pecinta, dan kekasih sekaligus.

Filed under: Hikayat Cinta, , ,

LAILA DAN MAJNUN

xat_heartsKisah   Laila   dan   Majnun   diceritakan   di   Timur   selama   ribuan   tahun   dan   selalu   membawa kekaguman besar, karena ini bukan sekedar sebuah kisah cinta, melainkan juga sebuah pelajaran cinta. Bukan cinta sebagaimanaumumnya dipahami orang, tetapi cinta yang berada di atas bumi dan langit.

Seorang   pemuda   bernama   Majnun   sejak   kecil   telah  menunjukkan   cinta   dalam   sifatnya, mengungkapkan  tragedi  hidup  kepada  mata  orang  yang  jeli.  Ketika  Majnun  bersekolah,  ia menyukai Laila. Percikan api itu akhirnya menjadi api, dan Majnun merasa tidak tenang bila Laila sedikit terlambat datang ke sekolah.

Dengan buku di tangannya, Majnun mengarahkan matanya ke pintu masuk, dan hal ini diketahui banyak orang. Api itu kemudian menjadi api besar dan kemudian hati Laila menyala oleh cinta Majnun. Mereka saling berpandangan. Laila tak melihat seorang pun di  dalam  kelas  kecuali  Majnun,  demikian  pula  sebaliknya,  Majnun  hanya  melihat  Laila.  Apabila membaca buku mata Majnun hanya melihat nama Laila; dalam menulis ketika didikte guru, Laila hanya  menuliskan  semua  baris  dengan  nama  Majnun.  “Semua  yang  lain  menghilang  ketika gagasan mengenai kekasih menguasai pikiran pecinta.”

Semua murid yang lain di kelas saling berbisik sambil menunjuk kepada mereka berdua. Para guru khawatir dan menulis kepada orang tua mereka bahwa anak-anak mereka mabuk cinta dan saling menyukai, dan bahwa tampaknya tak ada cara untuk mengalihkan perhatian mereka dari urusan cinta yang telah menghentikan setiap kemungkinan perkembangan dalam belajar.

Orang tua Laila langsung melarang gadis itu pergi ke sekolah, dan mengawasinya secara ketat. Dengan  cara  ini  mereka  menjauhkan  Laila  dari  Majnun,  tetapi  siapa  yang  mampu  menjauhkan Majnun  dari  hati  Laila?  Ia  tidak  memikirkan  apapun  selain  Majnun.  Tanpa  Laila,  Majnun  tidak tenang  dan  menangis  di  dalam  hatinya,  semua  orang  di  sekolah  menjadi  kacau,  sampai  orang tuanya membawanya pulang dari sekolah, karena rupanya tak ada sesuatu yang tersisa baginya di sekolah. Orang tua Majnun memanggil dokter, tabib, peramal, pesulap, dan mencurahkan uang di kaki  mereka  sambil  memohon  agar  Majnun  dibebaskan  dari  memikirkan  Laila.

etapi  apa  yang dapat  mereka  lakukan?  “Lukman  [tabib  besar  pada  masa  silam]  sekalipun,  tidak  memiliki  obat untuk menyembuhkan sakit karena cinta.”

Tak  seorang  pun  mampu  menyembuhkan  pasien  cinta.  Teman-teman  datang,  para  kerabat datang, pemberi semangat datang, penasihat ahli datang; semua mencoba sebaik mungkin untuk melenyapkan Laila dari pikiran Majnun, tetapi sia-sia. Seseorang datang dan berkata kepadanya, “Hai  Majnun,  mengapa  engkau  sedih  atas  perpisahan  dari  Laila?  Ia  tidak  cantik.

Aku  dapat menunjukkan  kepadamu  seribu  gadis  yang  lebih  cantik  dan  lebih  menarik,  dan  engkau  dapat memilih  salah  satu  di  antara  mereka.”  Majnun  menjawab  “Untuk  melihat  kecantikan  Laila,
diperlukan mata Majnun.”

Ketika   semua   upaya   tak   tersisa   untuk   dilakukan,   orang   tua   Majnun   bermaksud   mencari perlindungan Ka’bah sebagai upaya terakhir. Mereka membawa Majnun berziarah ke Ka’bat-ullah. Ketika mereka sampai ke dekat Ka’bah terjadi kerumunan besar untuk melihat mereka. Orang tua itu mendekat ke Ka’bah dan berdoa, “Ya Allah, Engkau Mahapengasih dan Mahapenyayang, maka ridhailah  anak  kami  satu-satunya,  agar  hati  Majnun  terbebas  dari  derita  cintanya  kepada  Laila.” Semua  orang  mendengarkan  doa  itu  dengan  penuh  perhatian,  dan  ingin  tahu  apa  yang  akan dikatakan  Majnun.  Kemudian  orang  tua  itu  berkata  kepada  Majnun,  “Anakku, berdoalah  agar cintamu  kepada  Laila  dilenyapkan  dari  hatimu.”  Majnun  menjawab,  “Apakah  aku  akan  bertemu dengan Laila bila aku berdoa?” Dengan sangat kecewa mereka menjawab, “Berdoalah, anakku, apapun   yang   engkau   kehendaki.”   Maka   Majnun   mendekat   ke   Ka’bah   dan   berkata,   “Aku menginginkan  Laila,”  dan  semua  orang  yang  hadir  berkata,  “Amiin.”  “Dunia  mengumandangkan keinginan pecinta.”

Setelah  mencari  segala  cara  untuk  menyembuhkan  Majnun  dari  kegilaannya  terhadap  Laila, akhirnya mereka berpikir bahwa cara terbaik adalah mendekati kedua orang tua Laila, karena ini merupakan harapan terakhir untuk menyelamatkan hidup Majnun. Mereka mengirim pesan kepada orang  tua  Laila  yang  berlainan  agama,  “Kami  telah  melakukan  semua  yang  kami  bisa  untuk melepaskan  Laila  dari  pikiran  Majnun,  tetapi  sejauh  ini  tak  berhasil,  dan  tak  ada  harapan  untuk berhasil  kecuali  satu  hal,  yaitu  menikahkan  Majnun  dengan  Laila.

”  Mereka  membalas  dengan berkata, “Meskipun hal ini akan membuat kami dibenci oleh orang-orang kami, tetapi rupanya Laila
tak  dapat  melupakan  Majnun  barang  sesaat,  dan  sejak  kami mengeluarkannya  dari  sekolah,  ia terus  bersedih  setiap  hari.  Karena  itu  kami  tidak  keberatan  untuk  menikahkan  Laila  dengan Majnun, dengan satu syarat yaitu Majnun harus bertindak waras.”

Mendengar  itu,  orang  tua  Majnun  sangat  bergembira  dan  minta  kepada  Majnun  agar  bersikap wajar agar orang tua Laila tidak menyangka bahwa ia gila. Majnun setuju untuk melakukan apapun yang  dikehendaki  orang  tuanya  asal  diperbolehkan  menemui  Laila.  Sesuai  dengan  adat  Timur, prosesi  pernikahan  dilakukan  di  rumah  pengantin  wanita,  dan  di  sana  tempat  duduk  khusus disediakan  bagi  pengantin  laki-laki  yang  ditutup  dengan  rangkaian  bunga.

Namun,  seperti  kata orang Timur, Allah tidak suka kepada pesaing cinta, maka takdir tidak memberi kedua orang itu kebahagiaan  atas  kebersamaan.  Anjing  yang  biasanya  mengikuti  Laila  ke  sekolah,  kebetulan memasuki ruang tempat pasangan itu duduk. Ketika Majnun melihat anjing itu, emosinya meledak; ia  tidak  dapat  duduk  di  kursi  tinggi  sambil  melihat  anjing.

Ia  berlari  kepada  anjing  itu,  mencium kakinya  dan  mengalungkan  rangkaian  bunga  ke  leher  anjing  itu.  Terlihat  jelas  bahwa  Majnun memuja anjing itu. “Debu di tempat tinggal kekasih adalah tanah Ka’bah bagi pecinta.” Kelakuan itu sepintas membuktikan bahwa ia gila.

Karena bahasa cinta itu sampah bagi orang tanpa cinta, maka perbuatan Majnun dipandang oleh mereka  yang  hadir  sebagai  ketololan. Mereka  semua  sangat  kecewa,  orang  tua  Laila  menolak untuk menikahkan anaknya, dan Majnun dibawa kembali pulang.

Pernyataan  kecewa  itu  membuat  orang  tua  Majnun  kehilangan  harapan,  dan  mereka  tidak  lagi mengawasinya  karena  melihat  bahwa  hidup  atau  mati,  keduanya  sama  saja.  Hal  ini  memberi kebebasan kepada Majnun untuk berkelana ke kota mencari Laila, bertanya kepada setiap orang untuk menunjukkan tempat Laila. Kebetulan ia bertemu dengan pengantar surat yang membawa surat-surat  di  punggung  unta.  Ketika  Majnun  menyanyakan  alamat  Laila,  orang  itu  menjawab, “Orang tuanya telah meninggalkan negeri ini dan sekarang tinggal seratus mil dari sini.” Majnun memohon  kepadanya  untuk  menyampaikan  pesan  kepada,  dan  dijawab, “Dengan  senang  hati.”
Namun  ketika  Majnun  mengucapkan  pesan  itu,  ia  perlu  waktu  yang  amat  sangat  lama.  “Pesan cinta tidak mengenal akhir.”

Pengantar  surat  itu  separo  menertawakan  dan  separo  bersimpati  kepada  ketulusan  cintanya. Meskipun  Majnun  yang  berjalan  bersama  untanya,  merupakan  teman  baginya  dalam  perjalanan panjang,   tetapi   karena   kasihan,   ia   berkata,   “Engkau   telah   berjalan   sepuluh   mil   dengan menyampaikan    pesanmu    itu kepadaku;    berapa    jauh    yang    harus    kutempuh    untuk menyampaikannya kepada Laila? Kini pergilah, aku akan menyampaikannya.

” Kemudian Majnun berjalan  kembali,  tetapi  sebelum  berjalan  seratus  meter,  ia  berputar  balik  dan  berseru,  “Hai kawanku  yang  baik,  aku  lupa  mengatakan  beberapa  hal  yang  engkau  dapat  menyampaikannya kepada Laila.” Ketika pesan itu disampaikan, ia telah menempuh sepuluh mil lagi. Pengantar surat itu berkata, “Aku kasihan kepadamu, kembalilah, engkau telah berjalan sangat jauh. Bagaimana aku dapat mengingat semua pesan yang engkau sampaikan? Bagaimana pun, aku akan berusaha  sebaik-baiknya.

Kini kembalilah, engkau sudah sangat jauh dari rumahmu.” Majnun berjalan balik beberapa  meter,  dan  lagi-lagi  ia  kembali  ingat  sesuatu  untuk  disampaikan  kepada  pembawa pesan, lalu mengejarnya. Begitu seterusnya hingga ia sendiri tiba di tempat yang dituju.

Pengantar  surat  itu  kagum  kepada  cinta  yang  tulus,  dan  berkata,  “Engkau  telah  tiba  di  tanah tempat  Laila  tinggal.  Kini  tinggallah  di  masjid  runtuh  ini.  Ini  masih  luar  kota.  Bila  engkau  pergi bersamaku ke kota mereka akan menyiksamu sebelum engkau bertemu Laila. Sebaiknya engkau beristirahat  di  sini  sekarang,  karena  engkau  telah  berjalan  jauh,  dan  aku  akan  menyampaikan pesanmu kepada Laila ketika bertemu dengannya.” “Orang yang mabuk cinta tak mengenal waktu atau ruang.”

Majnun patuh, dan ingin beristirahat, tetapi gagasan bahwa ia berada di kota tempat tinggal Laila membuatnya bertanya-tanya ke arah mana ia meregangkan kakinya: utara, selatan, timur, barat, dan berpikir, “Andai Laila berada di sisi ini, aku akan tidak sopan bila meregangkan kakiku ke arah sana. Maka sebaiknya aku menggantung kaki dengan tali dari atas, karena pasti ia tidak di sana.”

“Ka’bah  seorang  pecinta  adalah  tempat  tinggal  kekasihnya.”  Ia  merasa  haus,  dan  tak  dapat memperoleh air kecuali air hujan yang terkumpul di dalam bak yang tak digunakan.

Ketika pengantar surat memasuki rumah Laila, ia melihat dan berkata kepada Laila, “Aku harus bersusah payah untuk dapat berbicara kepadamu. Pecintamu, Majnun, seorang pecinta yang tiada bandingannya  di  dunia,  mengirimkan  pesan  untukmu,  dan  ia  terus  berbicara  di  sepanjang perjalanan dan ia berjalan kaki sejauh kota ini.” Laila berkata, “Demi langit, kasihan Majnun! Apa jadinya dia.

” Ia bertanya kepada perawat tuanya, “Bagaimana seorang yang berjalan seratus mil tanpa berhenti?” Perawat itu berkata, “Orang itu pasti mati.” Laila berkata, “Apakah ada obatnya?” Dijawab,  “Ia  harus  minum  air  hujan  yang  terkumpul  selama  setahun  dan  sudah  diminum  ular. Kemudian kakinya harus diikat dan digantung di udara dengan kepala di bawah dalam waktu yang lama.    Ini    mungkin    menyelamatkan    nyawanya.”    Laila    berkata,    “Oh,    tetapi    betapa    sulit mendapatkannya!” Allah, yang Dia sendiri adalah cinta, adalah pembimbing Majnun, dan karena itu semua yang datang kepada Majnun adalah yang terbaik baginya. “Sesungguhnya cinta adalah penyembuh dari lukanya sendiri.”

Pagi  harinya  Laila  menyisihkan  makanannya,  dan  mengirimkannya  secara  sembunyi-sembunyi melalui  pelayan  yang  dipercaya,  bersama  dengan  pesan  untuk  Majnun  bahwa  Laila  rindu  untuk bertemu dengannya sebesar Majnun merindukannya, yang berbeda hanya rantai yang mengikat. Segera setelah ia memperoleh kesempatan, ia akan datang seketika.

Pelayan  itu  pergi  ke  masjid  runtuh  dan  melihat  dua  orang  duduk  di  sana,  yang  satu  tak  peduli dengan sekelilingnya, yang lain orang gendut dan besar. Ia berpikir, Laila tidak mungkin mencintai seorang pemimpi karena ia sendiri tak tertarik. Namun untuk meyakinkan, ia bertanya, siapa yang bernama Majnun.

Majnun tenggelam dalam pikirannya sendiri dan jauh dari perkataan itu, tetapi lelaki  yang  lain,  yang  kelelahan  bekerja,  sangat  senang  melihat  keranjang  makanan  di  tangan pelayan itu, dan berkata, “Siapa yang kau cari?” Dijawab, “Aku disuruh memberikan makanan ini kepada Majnun.

Apakah anda Majnun?” Ia menjulurkan tangannya untuk menerima keranjang itu dan  berkata,  “Akulah  yang  engkau  cari,”  dan  bercanda  dengan  pelayan  itu,  dan  pelayan  itu senang.

Ketika  pelayan  itu  kembali,  Laila  bertanya,  “Apakah  engkau  berikan  makanan  itu  kepadanya?” Dijawab, “Ya, aku memberikannya.” Kemudian setiap hari Laila mengirim porsi yang lebih besar dari  makanannya  kepada  Majnun,  yang  diterima  dengan  sukacita  oleh  lelaki  gendut  itu  ketika istirahat  dari  kerja.  Suatu  hari  Laila  bertanya  kepada  pelayannya,  “Engkau  tak  pernah  bercerita apa yang dikatakannya dan bagaimana ia makan.

” Dijawab, “Ia berkata bahwa ia sangat berterima kasih  dan  sangat  menghargai  pemberian  itu.  Bicaranya  sangat  menyenangkan.  Anda  tak  perlu khawatir,  ia  menjadi  semakin  gendut  setiap  hari.”  Laila  berkata,  “Tetapi  Majnun-ku  tak  pernah gendut,  ia  tak  bisa  gemuk,  dan  ia  berpikir  terlalu  dalam  untuk  bisa  berkata  yang  manis  kepada orang  lain.  Ia  terlalu  sedih  untuk  berkata.

”  Seketika  Laila  curiga  bahwa  makanannya  telah diberikan kepada orang lain. ia berkata, “Adakah orang lain di sana?” Pelayan menjawab, “Ya, ada satu  orang  lain  yang  duduk  di  sana,  tetapi  ia  tampaknya  berada  di  dalam  dirinya  sendiri.  Ia  tak pernah memperhatikan siapa yang datang dan pergi, dan ia tidak mendengarkan orang lain. Tidak mungkin  ia  adalah  orang  yang  anda  cintai.”  Laila  berkata,  “Kupikir  dialah  orangnya.  Sayang, selama ini engkau memberikan makanan itu kepada orang lain! Baiklah, untuk meyakinkan, hari ini aku akan meletakkan pisau di atas piring, bukan makanan, dan katakan kepada orang yang kau beri makanan, ‘Laila memerlukan beberapa tetes darahmu untuk menyembuhkan penyakitnya.'”

Seperti  biasa,  ketika  pelayan  itu  datang,  lelaki  gendut  itu  menyambut  dengan  gembira  untuk mengambil makanannya, tetapi ia terkejut ketika melihat pisau, bukan makanan. Pelayan berkata bahwa  beberapa  tetes  darah  Majnun  diperlukan  untuk  menyembuhkan  penyakit  Laila.  Lelaki  itu berkata, “Bukan, aku bukan Majnun. Dialah Majnun. Mintalah kepadanya.

” Dengan lugu pelayan itu  datang  kepadanya  dan  berkata  keras,  “Laila  membutuhkan  beberapa  tetes  darahmu  untuk mengobatinya.”  Majnun  segera  mengambil  pisau  itu  dan  berkata,  “Betapa  beruntungnya  aku bahwa  darahku  bermanfaat  bagi  Laila.  Ini  tak  berarti  apa-apa,  bahkan  hidupku  pun  akan kukorbankan  untuk  menyembuhkannya,  aku  akan  merasa  beruntung  dalam  memberikannya.
“Apapun  yang  dilakukan  pecinta  bagi  kekasihnya,  itu  tak  pernah  terlalu  besar.”  Ia  menusuk tangannya  di  beberapa  tempat,  tetapi,  kelaparan  berbulan-bulan  telah  menghabiskan  darahnya, yang  tersisa  hanya  kulit  dan  tulang.  Ketika  banyak  tempat  sudah  ditusuk,  dengan  susah  payah setetes darah dapat keluar. Ia berkata, “Itulah yang tersisa. Ambillah.” “Cinta berarti penderitaan,
tetapi pecinta sendiri berada di atas semua penderitaan.”

Kedatangan Majnun lama-lama diketahui banyak orang, dan ketika orang tua Laila tahu, mereka berpikir, “Tentu Laila akan kehilangan pikiran bila ia mencari Majnun.” Maka mereka memutuskan untuk pindah ke luar kota untuk beberapa lama, mengira bahwa Majnun akan pulang ketika tidak menjumpai Laila tak ada di tempatnya. Sebelum berangkat, Laila mengirim pesan kepada Majnun, “Kami ke luar kota untuk sementara waktu, dan aku sangat sedih tak dapat menjumpaimu. Satu- satunya kesempatan bertemu adalah bila kita bertemu di tengah perjalanan, bila engkau berangkat terlebih dulu dan menungguku di [gurun] Sahara.”

Majnun dengan senang hati berangkat ke Sahara, dengan harapan besar untuk bertemu dengan Laila sekali lagi. Ketika rombongan tiba di gurun dan berhenti sejenak di sana, pikiran orang tua Laila  sedikit  lega,  dan  mereka  melihat  bahwa  Laila  juga  lebih  bahagia  atas  perubahan  itu, sebagaimana mereka kira, tanpa mengetahui alasan sebenarnya.

Laila  pergi  berjalan-jalan  di  Sahara  dengan  wanita  pelayannya,  dan  tiba-tiba  datanglah  Majnun, yang matanya telah lama mengawasi kedatangannya. Laila datang dan berkata, “Majnun, aku di sini.”  Tiada  daya  di  dalam  lidah  Majnun  untuk  mengungkapkan  kegembiraannya.

Ia  memegang tangan   Laila   dan   merapatkannya   ke   dadanya,   sambil   berkata,   “Laila,   engkau   tak   akan meninggalkan aku lagi?” Dijawab, “Majnun, aku hanya dapat datang sebentar. Jika aku di sini lebih lama, orang-orangku akan mencariku dan hidupmu tidak aman.” Majnun berkata, “Aku tak peduli dengan  hidupku.  Engkaulah  hidupku,  tinggallah,  jangan  tinggalkan  aku  lagi.”  Laila  berkata, melepaskan  tangan  Laila  dan  berkata, “Tentu, aku percaya padamu.” Maka Laila meninggalkan Majnun dengan berat hati, dan Majnun yang telah begitu lama hidup di atas daging dan darahnya sendiri, tak dapat lagi berdiri tegak; ia jatuh ke belakang menimpa sebatang pohon yang kemudian menopangnya, dan ia tetap di sana, hidup hanya di atas harapan.

Tahun-tahun  berlalu  tubuh  Majnun  yang  telah  setengah  mati  terkena  pengaruh  panas,  dingin, hujan,  salju  dan  badai.  Tangan  yang  memegangi  cabang  pohon  menjadi  cabang  itu  sendiri, tubuhnya  menjadi  bagian  dari  pohon.  Laila  tak  merasa  senang  dalam  perjalanan,  dan  orang  tuanya  kehilangan  harapan  akan  hidupnya.

Laila  hanya  hidup  atas  satu  harapan,  agar  ia  dapat memenuhi janjinya kepada Majnun ketika berpisah dan berkata, “Aku akan kembali.” Ia bertanya- tanya  apakah  Majnun  hidup  atau  mati,  at  untuk  pergi,  atau  apakah  telah  dibawa  pergi  hewan Sahara.

Ketika   mereka   kembali,   mereka   berhenti   di   tempat   yang   sama.   Hati   Laila   penuh   dengan kegembiraan dan kesedihan, harapan dan kekhawatiran. Ketika ia mencari tempat yang dulu, ia bertemu seorang penebang kayu yang berkata kepadanya, “Hai, jangan pergi ke sana. Ada hantu di sana.” Laila berkata, “Seperti apa?” Dijawab, “Sebuah pohon, tetapi juga seorang manusia, dan ketika  aku  menebang  sebuah  cabang  pohon  itu  dengan  kapakku,  aku  mendengar  ia  berkata dengan rintihan yang dalam, ‘O Laila.'” Mendengar ini membuat Laila terharu tak terperikan.

Ia berkata bahwa ia akan ke sana, dan ketika telah  dekat  ia  melihat  Majnun  telah  hampir  berubah menjadi pohon.  Daging dan darahnya telah sirna,  hanya  kulit  dan  tulang  yang  tersisa.  Cara  kontaknya  dengan  pohon  membuat  ia  mirip dengan  cabang  pohon.  Laila  memanggilnya  keras-keras,  “Majnun!”  Dijawab,  “Laila!”  Ia  berkata,
“Aku datang seperti yang kujanjikan, hai Majnun.

”  Majnun  menjawab,  “Aku  Laila.”  Laila  berkata, “Majnun,  pakailah  akalmu.  Aku-lah  Laila.  Lihatlah  aku.”  Majnun  berkata,  “Apakah  engkau  Laila? Kalau begitu, aku bukan,” dan ia meninggal. Melihat kesempurnaan cinta ini, Laila tak dapat hidup lagi barang sesaat. Ia meneriakkan nama Majnun kemudian jatuh dan mati.

“Sang kekasih adalah semua dalam semua, pecinta hanya menutupinya. Kekasih adalah semua yang hidup, dan pecinta adalah benda mati.”

Filed under: Hikayat Cinta, , , , , ,

MORAL CINTA

Ada satu moral, yaitu cinta memancar dari penyangkalan diri dan berkembang dalam perbuatan baik. Orang yang kolot berkata, “Ini baik, itu buruk. Ini benar, itu salah,” tetapi bagi seorang Sufi sumber semua perbuatan baik adalah cinta. Orang mungkin berkata bahwa cinta pun merupakan sumber perbuatan buruk, tetapi tidak demikian; sumbernya adalah tiadanya cinta.

Amal  baik  kita  terbuat  dari  cinta,  dan  dosa-dosa  kita  disebabkan  oleh  tiadanya  cinta.  Cinta mengubah  dosa  menjadi  kebaikan.  Tanpa  cinta,  perbuatan  baik  tak  bermakna.  Ketika  seorang wanita yang dituduh telah melakukan dosa dibawa kepadanya, nabi Isa berkata, “Dosa-dosanya telah diampuni, karena ia sangat mencintai.” Surga menjadi indah karena cinta, dan hidup menjadi neraka tanpa cinta. Cinta dalam kenyataannya menghasilkan keserasian dalam hidup seseorang di dunia dan kedamaian di akhirat.

Seorang  gadis  penari,  ketika  menyaksikan  dua  pemakaman  dari  balik  jendela,  berkata  kepada pemuda kekasihnya, “Yang pertama dari keduanya  adalah jiwa yang telah pergi ke surga, yang kedua  adalah  jiwa  yang  telah  pergi  ke  neraka,  aku  yakin.”  Pemuda  itu  berkata,  “Bagaimana engkau, seorang gadis penari, pura-pura tahu sesuatu yang hanya diketahui orang suci?” Gadis itu menjawab,  “Aku  tahu  dari  kenyataan  sederhana  bahwa  orang  yang  mengikuti  pemakaman pertama  semua  bermuka  sedih,  bahkan  banyak  yang  meneteskan  air  mata;  sedangkan  orang- orang  pada  pemakaman  kedua  semuanya  gembira.  Yang  pertama  membuktikan  bahwa  ia mencintai  dan  memperoleh  kasih  sayang  dari  banyak  orang  sehingga  tentu  ia  berhak  masuk surga; sedangkan yang kedua tentu tak menyukai seorang pun karena tak ada yang mengangisi kepergiannya.”

Oleh karena itu, sebagaimana dunia ini merupakan neraka bagi orang tanpa cinta, neraka yang sama  akan  menjadi  nyata  di  dunia  berikutnya.  Bila  jiwa  dan  hati  tak  mampu  mencintai,  maka meskipun  ia  seorang  kerabat  atau  teman  terdekat,  ia  adalah  orang  asing.  Ia  tak  mempedulikan mereka, dan tidak menyukai kebersamaan dengan mereka.

Mudah sekali untuk mulai mencintai, dan inilah yang dilakukan semua orang. Tetapi sangat sulit untuk  memelihara  cinta,  karena  cinta  membuka  mata  pecinta  untuk  melihat  melalui  kekasihnya, meskipun  ia  menutup  mata  pecinta  terhadap  semua  yang  lain.  Mula-mula,  semakin  pecinta mengetahui  kekasihnya,  semakin  banyak  ia  melihat  cacat  maupun  kebaikannya,  yang  secara alami  pada  awal  cinta  menjatuhkan  kekasih  dari  ketinggian  di  mana  pecinta  menempatkan kekasihnya.

Hal  lain  adalah  bahwa  di  samping  atribut-atribut  yang  memikat  pecinta  satu  sama  lain,  terdapat kecenderungan pada masing-masing untuk menghancurkan. Ego selalu memainkan siasat dalam membawa dua hati bersatu dan kemudian memisahkannya kembali. Karena itu di dunia ini hampir semua  orang  berkata,  “Aku  cinta,”  atau  “Aku  telah  mencintai,”  tetapi  sangat  jarang  cinta  yang senantiasa meningkat sejak dimulai. Bagi pecinta sejati, sungguh aneh mendengar orang berkata, “Aku telah mencintinya, tetapi kini aku tak mencintainya lagi.”

Cinta  harus  secara  mutlak  bebas  dari  pementingan  diri  sendiri,  karena  bila  tidak,  ia  tak  akan menghasilkan cahaya yang benar. Bila api tak menyala, ia tak memberi cahaya, hanya asap yang keluar darinya, asap yang menyebalkan. Demikianlah cinta yang mementingkan diri sendiri; baik cinta kepada manusia maupun kepada Allah, ia tak berbuah karena meskipun tampak seperti cinta kepada  orang  lain  maupun  kepada  Allah,  ia  sesungguhnya  adalah  cinta  kepada  diri  sendiri. Gagasan yang masuk ke dalam pikiran seorang pecinta seperti, “Jika engkau mau mencintaiku, aku akan mencintaimu, tetapi bila engkau tak mencintaiku, aku pun tak akan mencintaimu,” atau  “Aku mencintaimu sebesar cintamu kepadaku,” dan semua pernyataan serupa, adalah pernyataan cinta yang palsu.

Peran yang dijalankan seorang pecinta dalam hidup lebih sulit daripada peran kekasih. Tirani dari pihak  kekasih  dipandang  dengan  toleran  dan  sabar  oleh  pecinta  sebagai  sesuatu  yang  alami dalam   jalur   cinta.   Hafiz   berkata   tentang   menyerah   kepada   kehendak   kekasih:   “Aku   telah memecahkan gelas kehendakku ketika berbenturan dengan kehendak kekasihku. Apa yang dapat dilakukan bila hatiku takluk oleh kekasih yang keras hati, yang mengikuti kehendaknya sendiri dan mengabaikan  kehendak  pecintanya?”  Itulah  hasil  studi  mengenai  sifat  pecinta  dan  kekasihnya, bahwa  sang  kekasih  melakukan  apa  yang  diinginkan,  sedangkan  pecinta  hidup  dalam  cinta.

Penyimpangan  dari  keadaan  itu  hanya  terjadi  pada  kematian  pecinta.  Satu-satunya  cara  ialah penyerahan diri, baik dalam hal kekasih duniawi maupun Kekasih ilahi.

Pecinta tak pernah mengeluh mengenai ketidak-adilan terhadap dirinya, dan ia menyembunyikan setiap kesalahan kekasihnya. Pecinta selalu berusaha agar tidak menyakiti perasaan kekasihnya dalam setiap perbuatannya.

Meskipun  cinta  adalah  cahaya,  ia  menjadi  kegelapan  bila  hukumnya  tidak  dipahami.  Seperti  air yang dapat membersihkan semua benda, air itu menjadi lumpur bila bercampur tanah. Demikian pula  cinta,  bila  tidak  dipahami  dengan  benar  dan  bila  salah  arah,  ia  menjadi  kutukan,  bukan berkah.Ada  lima  dosa  utama  terhadap  cinta,  yang  mengubah  madu  menjadi  racun.  Pertama,  bila  demi cintanya   pecinta   merampas   kebebasan   dan   kebahagiaan   kekasihnya.   Kedua,   bila   pecinta membiarkan kecemburuan atau kepahitan dalam cinta. Ketiga, bila pecinta ragu, tak percaya, dan curiga   kepada   orang   yang   dicintainya.   Keempat,   bila   cinta   menyusut   akibat   membiarkan kesedihan, masalah, kesulitan, dan penderitaan yang datang dalam jalur cinta. Kelima, bila pecinta memaksakan kehendaknya sendiri, bukan menyerah kepada kehendak kekasih. Itu semua adalah penyebab   alami   dari   petaka   dalam   hati   yang   mencinta,   seperti   penyakit   bagi   tubuh   fisik. Lenyapnya kesehatan membuat hidup menyedihkan, demikian pula lenyapnya cinta membuat hati tertekan. Hanya pecinta yang menghindari kesalahan di atas akan memperoleh manfaat dari cinta, dan tiba dengan selamat di tempat tujuannya.

Cinta terletak di dalam pelayanan. Hanya sekedar melakukan, bukan demi ketenaran atau nama, bukan mengharap penghargaan atau terima kasih, adalah pelayanan cinta.

Pecinta  menunjukkan  kebaikan  dan  kemurahan  kepada  kekasihnya.  Ia  melakukan  apapun  yang dapat  dilakukannya bagi  kekasihnya  dalam     bentuk    membantu,  melayani, berkorban, menenangkan,  atau  menyelamatkan,  tetapi  menyembunyikan  semuanya  dari  dunia,  bahkan  dari kekasihnya.

Bila kekasih melakukan sesuatu  baginya ia melebih-lebihkannya, mengidealkannya, membuat pasir menjadi bukit. Ia mengambil racun dari tangan kekasih sebagai gula,  dan  derita  cinta  dalam  luka  hatinya  sebagai  kegembiraan.  Dengan  memperbesar  dan mengidealkan  apapun  yang  dilakukan  kekasih  terhadapnya  dan  dengan  melupakan  spa  yang dilakukannya bagi kekasihnya, ia mengembangkan penghargaan diri sendiri, yang menghasilkan semua kebaikan dalam hidupnya.

Kesabaran,  pengorbanan,  penyerahan,  kekuatan,  dan  pengabdian  dibutuhkan  dalam  cinta,  dan tiada  sesuatu  kecuali  harapan,  hingga  ia  bersatu  dengan  kekasihnya.  Pengorbanan  dibutuhkan dalam cinta untuk memberi semuanya: kekayaan, harta milik, tubuh, hati, dan jiwa. Tiada lagi “Aku” yang tersisa, yang ada hanya “engkau”, sampai “engkau” itu berubah menjadi “aku”. Di mana ada cinta  di  situ  ada  kesabaran,  di  mana  tiada  kesabaran  di  situ  tak  ada  cinta.  Pecinta  mengambil harapan sebagai sari dari agama cinta, karena harapan adalah satu-satunya hal yang membuat

api  hidup  tetap  menyala.  Bagi  pecinta,  harapan  adalah  tali  keselamatan  di  laut.  “Brahma mengumpulkan madu dari semua hal di dunia, dan madu itu adalah harapan.”

Menurut  hukum  alam,  perpisahan  diperlukan  meskipun  ini  paling  menyakitkan.  Bila  dua  hati bersatu dalam cinta, perpisahan menunggu mereka. Perpisahan harus diterima. Seorang penyair Persia  berkata,  “Andai  aku  tahu  kepedihan  akibat  perpisahan  dalam  cinta,  aku  tak  akan  pernah membiarkan cahaya cinta menyala di dalam hatiku.” Seperti yang dikatakan orang Jepang, Tuhan itu cemburu terhadap semua selain diri-Nya. Siapa pun yang engkau cintai, ruh Allah secara alami akan memisahkannya, cepat atau lambat.

Gagasan ini diungkapkan secara simbolik dalam cerita India, Indra Sabha.

Sabzpari,  seorang  peri  yang  pernah  menari  di  depan  Indra,  Raja  Langit,  tertarik  oleh  Pangeran Gulfam,  seorang  manusia  bumi,  ketika  peri  itu  terbang  di  atas  istana.  Pelayannya,  Dewa  hitam, membawa  Gulfam  atas  perintahnya,  dari  bumi  ke  langit.  Gulfam  mula-mula  tidak  suka  dengan tempat asing itu, tetapi kemudian cinta Sabzpari menariknya begitu kuat hingga Gulfam hidup di dalam  cintanya.  Sabzpari  harus  berada  di  balairung  istana  setiap  malam  untuk  menari  dan menghibur Raja Indra, tetapi karena cintanya terhadap Gulfam, ia beberapa kali tidak hadir, dan setiap  orang  bertanya-tanya  mengapa  ia  tidak  datang.  Namun  kepergiannya  setiap  malam  ke istana Indra membuat Gulfam curiga jangan-jangan ada orang lain yang terpesona oleh Sabzpari. Hal ini berkali-kali ditanyakannya kepada Sabzpari, dan setiap kali tidak dijawab, hingga akhirnya ia   menjadi   marah   dan   Sabzpari   berpikir   untuk   tidak   lagi   menyembunyikannya.   Mendengar penjelasan  itu,  Gulfam  minta  Sabzpari  agar  membawanya  ke  balairung  istana  Indra.

Sabzpari berkata, “Tak pernah ada laki-laki yang ke sana, dan bila Indra melihatmu maka hari-hari indahmu dalam cinta dan kebahagiaan akan berakhir. Kita pasti harus berpisah, dan aku tak tahu apa yang akan dilakukannya terhadapmu.”

Gulfam  berkata,  “Tidak.  Itu  hanya  kata  perempuan.  Engkau  mungkin  bercinta  dengan  beberapa Dewa,  dan ingin menyembunyikannya dengan berkata demikian.” Sabzpari sangat sedih karena melihat dirinya dalam keadaan tak berdaya. Karena pengaruh perkataan yang begitu tajam seperti anak panah itu, tanpa berpikir lagi, dibawanya Gulfam ke istana Indra, sambil berkata, “Apa pun yang akan terjadi, biarlah terjadi.”

Sabzpari  membawanya  ke  balairung  istana,  menyembunyikannya  di  balik  lipatan  pakaian  dan sayapnya. Dewa Merah mencium kehadiran manusia di balairung, dan setelah melihat sekeliling, ia menemukan Sabzpari menari dengan sangat baik di hadapan Indra, sambil menyembunyikan Gulfam  di  belakangnya.

Dengan  kerendahan,  ia  membawanya  menghadap  Indra,  Dewa  segala Langit, yang duduk di singgasana dengan segelas anggur di tangannya, matanya merah dengan anggur, dan menampakkan kebesaran. Ketika Indra melihat bahwa seorang manusia dibawa ke puncak langit, ia bangkit dengan murka besar dan berkata kepada Sabzpari, “Hai, peri yang tak tahu malu, alangkah beraninya engkau membawa manusia ke puncak langit, sedangkan tak satu pun  makhluk  bumi  yang  diijinkan  datang?”  Dewa  Merah  berkata,  “Yang  Mulia,  cintanya  kepada makhluk  bumi  telah  membuat  ia  tak  berbakti  kepada  tahta  langit  dan  membuatnya  gagal  dalam tugasnya kepada Yang Mulia.”

Sabzpari berkata kepada Gulfam, “Engkau melihat sendiri, kekasihku tercinta, apa akibat terhadap kita  dari  kekerasan  hatimu?”  Indra  berkata,  “Pisahkan  mereka  seketika,  agar  mereka  tak  dapat berkata-kata satu sama lain. Lemparkan manusia itu ke kedalaman bumi, dan robek sayap-sayap peri  itu  dan  penjarakan  ia  sampai  cintanya  kepada  Gulfam  terhapus  dari  hatinya.  Kemudian sucikan dia dari kelima unsur. Baru kemudian ia boleh datang lagi, bila ia diijinkan oleh kehendak dan ampunan dan kasihku.”

Simbolisme itu menceritakan Tuhan yang pencemburu. Indra berasal dari kata Andar atau Antar, yang   berarti   bagian   dalam,   ruh   terdalam,   yang   diidealkan   manusia   sebagai   Tuhan   Yang Mahaperkasa.  Peri  adalah  jiwa  yang  diciptakan-Nya  dari  keberadaan-Nya.  Tarian  peri  yang merupakan  pemujaan  terhadap-Nya,  sepengetahuan-Nya,  dalam  kehadiran-Nya,  adalah  satu- satunya hal yang diinginkan-Nya dari mereka. Dewa hitam adalah simbol kegelapan [Tamas dalam bahasa  Sanskrit].  Di  bawahnya,  jiwa  telah  membangun  bagi  dirinya  sebagai  rumah  dari  unsur bumi, yaitu tubuh fisik. Allah telah menciptakan dunia dari kegelapan.

Sabz  berarti  hijau,  simbol  air,  unsur  pertama  yang  membentuk  substansi  atau  materi.  Sabzpari berarti jiwa yang ditarik ke dalam tubuh material. Bila jiwa itu melibatkan diri di dalam tubuh fisik, yang  disimbolkan  dengan  Gulfam,  maka  jiwa  yang  terlibat  dalam  tubuh  itu  menjadi  tenggelam dalam  pengalaman-pengalaman  dunia,  dalam  cinta  dunia,  kegembiraan  dunia,  dan  kenikmatan dunia. Karena tugas jiwa dilupakan olehnya dengan memburu dunia, Dewa Merah [daya destruksi] yang    senantiasa    menyebabkan    perubahan    dengan    daya    destruksinya,    pada    akhirnya menyebabkan  perpisahan,  dan  kematian  merupakan  perpisahan  antara  tubuh  dan  jiwa.  Jiwa, penghuni  langit,  menjadi  tak  bersayap  akibat  kutukan  Ruh  tertinggi,  dan  berjalan  menuju  dunia sampai ia disucikan dari lima elemen yang merupakan alam bawah. “Sebelum seorang manusia dilahirkan kembali dari air dan dari ruh, ia tak layak memasuki kerajaan Allah,” demikian tertulis di dalam  Injil.  Baru  setelah  itu,  jiwa  terangkat  ke  atas  semua  pengaruh  duniawi  dan  menari selamanya di hadapan Indra, Dewa para dewa.

Akibat  cinta  adalah  derita.  Cinta  tanpa  derita,  bukanlah  cinta.  Pecinta  yang  tak  mengalami penderitaan cinta bukanlah pecinta. “Cinta macam apa itu yang tak mengakibatkan penderitaan? Bahkan bila seseorang mabuk cinta, itu bukan apa-apa.” Derita cinta adalah  kenikmatan pecinta, hidupnya.  Tanpa  derita,  itu  adalah kematiannya.  Amir,  seorang  penyair  Hindustan,  berkata, “Engkau  akan  mengingatku  setelah  aku  mati,  hai  derita  cintaku,  karena  aku  telah  memberimu tempat di dalam hatiku sepanjang hidupku, dan aku telah memberimu makan dengan daging dan darahku.”

Setiap orang dapat berbicara cinta dan mengaku mencintai, tetapi menahan ujian cinta dan menanggung derita cinta merupakan pencapaian pahlawan yang langka. Melihat derita cinta akan  membuat  orang  pengecut  lari  terbirit-birit.  Tiada  jiwa  yang  bersedia  menelan  racun  ini sebelum ia merasakan madu.

Orang yang mencintai karena tak berdaya adalah budak cinta, tetapi orang yang mencintai karena hal ini merupakan kegembiraannya, adalah raja cinta. Orang yang demi cinta mencintai seseorang gagal dalam menguasai cinta; orang yang dapat menutup hatinya dalam keadaan penuh dengan cinta meskipun tertarik oleh kekasihnya, adalah penakluk cinta.

Orang-orang  yang  menghindari  cinta  dalam  hidup  karena  takut  akan  deritanya,  mengalami kerugian  yang  lebih  besar  dari  pecinta,  yang  dengan  kehilangan  diri  memperoleh  semuanya. Orang tanpa cinta mula-mula kehilangan semua, hingga akhirnya diri mereka direnggut pula dari tangan  mereka.  Kehangatan  suasana  seorang  pecinta,  pesona  suara  dan  perkataannya,  semua datang dari kepedihan hatinya.

Hatinya tidak hidup sebelum mengalami kepedihan. Manusia tidak hidup bila ia hidup dengan tubuh dan pikiran, tanpa hati. Jiwa merupakan segala cahaya, tetapi semua kegelapan disebabkan oleh kematian hati. Kepedihan membuatnya hidup. Hati yang telah penuh dengan kepedihan, bila dimurnikan dengan cinta, menjadi sumber segala kebaikan. Semua perbuatan baik berasal darinya.

Rumi menyebutkan enam ciri pecinta: tarikan napas (keluhan) yang dalam, ekspresi sedang, mata berair, sedikit makan, sedikit bicara, sedikit tidur – semua menunjukkan isyarat derita dalam cinta. Hafiz berkata, “Semua kegembiraan dalam hidupku mereka akibat dari air mata yang tiada henti dan tarikan napas panjang sepanjang malam.”

Kesedihan  pecinta  itu  tiada  henti,  dalam  kehadiran  dan  dalam  kepergian  kekasihnya:  dalam kehadiran karena khawatir berpisah, dan dalam kepergian ke merindukan kehadirannya. Menurut sudut  pandang  mistik,  derita  cinta  adalah  dinamit  yang  memecahkan  hati,  meskipun  hati  itu sekeras  batu.  Bila  selubung  keras  yang  menutupi  cahaya  dari  dalam  itu  dipecah,  aliran  semua kegembiraan datang seperti mata air dari gunung.

Derita   cinta   pada   saatnya   akan   menjadi   kehidupan   dari   pecinta.   Sakit   dari   luka   hatinya memberinya kegembiraan yang tak dapat diberikan oleh apapun juga. Hati yang terbakar menjadi lampu  penerang  di  jalan  yang  ditempuh  pecinta,  meringankan  jalannya  sampai  ke  tujuan. Kenikmatan hidup itu membutakan, hanya cinta saja yang membersihkan karat dari hati, cermin dari jiwa.

Suatu  ketika  seorang  gadis  budak  yang  sedang  merapikan  tempat  tidur  seorang  Raja,  ingin mengalami  bagaimana  rasanya  tidur  di  ranjang  Raja.  Kehangatan  sinar  matahari,  angin  yang bertiup  lembut  melalui  jendela  di  kamar  itu,  bunga-bunga  dan  parfum  ditaburkan  di  lantai,  bau wangi  dupa  yang  dibakar  –  membuatnya  begitu  nyaman  hingga  ia  tertidur  segera  setelah meletakkan  kepalanya  di  atas  bantal.

Ia  tidur  terlelap  seperti  mati.  Ketika  raja  dan  permaisuri datang, mereka terkejut atas keberanian dan kekurangajaran budak itu. Raja membangunkannya dengan  sebuah  cambukan,  ditambah  dengan  dua  cambukan  lagi  agar  permaisuri  tidak  curiga. Budak   itu   terbangun   dalam   ketakutan   dan   berteriak   keras,   tetapi   akhirnya   ia   tersenyum. Senyumnya  lebih  menimbulkan  keheranan  pada  raja  dan  permaisuri  daripada  kesalahan  yang dilakukannya. Mereka bertanya mengapa ia tersenyum, dan ia menjawab, “Aku tersenyum karena berpikir bahwa kenikmatan dan kegembiraan atas tempat tidur ini telah memberiku kecenderungan untuk menikmatinya beberapa saat, dan hukumannya adalah cambukan. Kemudian aku bertanya- tanya,  karena  anda  mengalami  kenikmatan  tempat  tidur  ini  seumur  hidup,  hukuman  apa  yang harus anda bayar untuk itu kepada Allah, Raja dari segala Raja.”

Dalam kehidupan ini, setiap kenikmatan kecil harus dibayar dengan penderitaan yang jauh lebih besar. Karena itu seorang pecinta telah mengumpulkan semua derita sebagai tabungan, dan jalan yang ditempuhnya akan lebih nyaman sepanjang perjalanan dari bumi ke langit. Di sana ia akan menjadi kaya ketika banyak orang lain yang miskin.

Gambaran  para  penyair  Sufi  melukiskan  sifat  cinta,  pecinta,  dan  kekasih  dengan  kehalusan metafora, kerumitan, dan aturan dalam ekspresinya hingga puisi mereka menjadi gambaran nyata dari sifat manusia.

Pecinta   selalu   membayangkan   sebagai   korban   kekejaman   kekasih,   yang   tanpa   kompromi menyingkirkan  pesaing-pesaingnya,    tidak    memperhatikan    penderitan    pecintanya,tidak mendengarkan   himbaunnya,   dan   bila   ia   menuruti,   itu   hanyalah   sedikit   sekali   hingga   tidak menyembuhkan  tetapi  malah  membuat  penderitaan  makin  parah.  Pecinta  membiarkan  hatinya yang liar untuk dikasihani di depan kekasih, menempatkannya di telapak tangannya. Ia meletakkan hatinya di kaki sang kekasih yang memperlakukannya dengan dingin, sementara ia berseru, “Lebih lembut, kekasihku, yang lembut! Itu adalah hatiku, itu adalah hatiku.” Hati si pecinta mengeluarkan air  mata  darah.  Pecinta  menekan  hatinya,  mencegahnya  agar  tidak  berlari  kepada  kekasihnya. Pecinta itu mengeluh bahwa hatinya tak setia karena meninggalkannya dan pergi ke kekasihnya.
Cinta mengemis agar kekasih mengembalikan hatinya bila hati itu sudah tak digunakannya lagi. Tempat tinggal hati adalah di dalam pelukan kekasihnya.

Pecinta  itu  tidak  tenang,  gelisah,  dan  tak  bahagia  dalam  derita  perpisahan.  Malam  dan  siang berlalu, semuanya berubah kecuali kepedihan pecinta. Kepedihan cinta merupakan satu-satunya temannya di setiap malam dalam perpisahan. Pecinta bertanya kepada malam perpisahan yang lelah, “Di mana engkau akan berada ketika aku mati?” Pecinta mengharapkan datangnya kematian sebelum kedatangan kekasih. Ia memohon agar kekasihnya menunjukkan diri kepadanya sesaat

sebelum ia mati. Ia berdoa agar kekasihnya mengunjungi kuburannya, sekalipun bukan demi cinta, sekurang-kurangnya demi kehadiran.

Pecinta  hanya  mengharap  agar  sang  kekasih  memahaminya,  agar  mengetahui  seberapa  besar cintanya  dan  penderitaan  apa  yang  dialaminya.  Pecinta  senantiasa  berharap  agar  kekasihnya datang kepadanya, atau ia sendiri dipanggil kepada kekasihnya. Bahkan, melihat seorang utusan cinta  membuat  kekasihnya  marah.  Kebaikan  dan  keburukan  dunia  tak  berarti  apa-apa  bagi pecinta. Pecinta hanya mengeluh bila ketenangan, kesabaran, dan kedamaiannya dirampas, dan bila  ia  kehilangan  agama,  moral,  dan  Tuhannya.  Pecinta  terlihat  tanpa  topi  dan  sepatu,  dan dianggap gila oleh kawan-kawannya. Ia merobek pakaiannya dalam penderitaan. Ia terikat dengan rantai oleh kegilaannya. Ia telah kehilangan kehormatan di mata semua orang.

Luka dalam hati adalah mawar bagi pecinta, rasa sakit adalah keindahannya. Ia menangis agar dapat  meneteskan  air  asin  kepadanya  untuk  membuatnya  cerdas,  agar  ia  dapat  sepenuhnya menikmati  derita  yang  manis.  Pecinta  cemburu  kepada  perhatian  yang  dicurahkan  pesaing terhadap kekasihnya. Bila pecinta menceritakan kisah cintanya kepada kawan-kawannya, mereka akan menangis bersamanya. Pecinta mencium tanah yang diinjak kekasihnya ketika berjalan. Ia iri kepada kesempatan yang dimiliki sepatu kekasihnya. Pecinta menggelar permadani di pintu bagi sang  kekasih.  Alis  sang  kekasih  adalah  Mihrab,  pintu  lengkung  pada  masjid.  Tahi  lalat  di  pipi kekasih  adalah  noda  ajaib  yang  mengungkapkan  rahasia  langit  dan  bumi  kepadanya.  Debu  di bawah kaki kekasih baginya merupakan tanah sakral dari Ka’bah. Wajah kekasih adalah Al Qur’an yang  terbuka,  dan  ia  mambaca  Alif,  huruf  dan  huruf  simbolik  dari  nama  Allah,  dalam  sifat  sang kekasih.  Pecinta  minum  anggur  Kauthar,  yang  keluar  dari  mata  kekasih.  Pandangan  kekasih membuatnya  mabuk.  Suara  gelang  kekasih  membuatnya  hidup.  Pecinta  puas  dengan  melihat kekasih meskipun dalam mimpi, bukan dalam keadaan terjaga.

Bila  pecinta  berkata  hampir  mati,  kekasih  tak  mempercayainya.  Pecinta  begitu  ‘habis’  hingga malaikat Mankir dan Nakir tak dapat melacaknya di dalam kubur. Kekhawatiran akan pendekatan pecinta membuat sang kekasih mengumpulkan pakaiannya dan mengangkatnya ketika melintasi kuburan pecinta itu agar tangannya dapat meraihnya.

Dengan tarikan napas yang dalam dari pecinta, langit dan bumi berguncang. Air matanya berubah menjadi  bunga  ketika  menyentuh  tanah.  Derita  adalah  sahabatnya  dalam  hati  malam,  dan kematian    adalah    sahabatnya    di    sepanjang    perjalanan    hidup.    Ia    merencanakan    dan membayangkan  seribu  hal  untuk  dikatakan  kepada  kekasih,  mengenai  kerinduannya,  deritanya, kekagumannya, dan cintanya. Namun ketika melihat sang kekasih ia tersihir, lidahnya tak bergerak bibirnya terkatup, matanya terpaku sepenuhnya pada kekasihnya.

Kegembiraan  dalam  arti  yang  nyata  hanya  diketahui  oleh  seorang  pecinta.  Orang  tanpa  cinta hanya mengetahui namanya, ia tidak mengetahui kenyataannya. Perbedaannya seperti manusia dan batu. Dengan semua perjuangan dan kesulitan hidup, manusia lebih suka menjadi manusia daripada  menjadi  batu  yang  tak  tersentuh  oleh  perjuangan  atau  kesulitan,  karena  dengan perjuangan  dan  kesulitan,  kegembiraan  hidup  menjadi  sangat  besar.  Dengan  semua  derita  dan kesedihan  yang  harus  ditemui  pecinta  di  dalam  cinta,  kegembiraannya  dalam  cinta  tak  dapat dibayangkan,  karena  cinta  adalah  hidup,  dan  tanpa  cinta  berarti  mati.  “Para  malaikat  akan meninggalkan kebebasan mereka di surga, andai mereka tahu kegembiraan ketika cinta bersemi pada orang muda.”

Ada  dua  obyek  yang  pantas  dicintai:  di  dataran  rendah,  manusia,  dan  di  dataran  tinggi,  Allah. Setiap orang di dunia mula-mula belajar mencintai di dataran rendah. Segera setelah seorang bayi membuka  matanya,  ia  mencintai  apa  pun  yang  dilihatnya,  semuanya  tampak  indah.  Kemudian muncul cinta kepada sesuatu yang permanen, yang tak berubah, yang menuju ke kesempurnaan Allah.  Namun  kemudian  manusia  telah  terpaku  pada  posisi  yang  sulit  dalam  hidup  di  mana

terdapat  pertentangan  satu  sama  lain.  Idola  menarik  dari  satu  sisi,  dan  gagasan  kesempurnaan menarik dari sisi lain, dan jarang sekali orang yang terangkat dari kesulitan ini.

Hal ini dijelaskan dalam kehidupan Surdas, seorang pemusik dan penyair India. Dengan sangat mendalam ia mencintai seorang penyanyi dan senang melihatnya. Kecintaannya meningkat hingga
ia tak dapat hidup tanpa dia dalam sehari saja. Suatu ketika terjadi hujan lebat yang berlangsung berminggu-minggu dan seluruh negeri banjir. Tak ada cara untuk bepergian, jalan-jalan tak dapat dilalui,  tetapi  tak  ada  sesuatu  pun  yang  dapat  menghalangi  Surdas  untuk  menemui  kekasihnya seperti yang dijanjikan.

Ia berangkat dalam hujan lebat, tetapi di tengah jalan ia terhalang sungai yang banjir dan tak dapat diseberangi. Tak ada perahu yang tampak; maka Surdas meloncat ke dalam    sungai    dan    mencoba    berenang.    Ombak    sungai    yang    kasar    mempermainkannya, mengangkatnya dan menceburkannya seolah-olah ia jatuh dari gunung ke dalam jurang. Untung, ia  menjatuhi  sebuah  mayat,  yang  diperlakukannya  seperti  sebatang  kayu,  ia  meraihnya  dan berpegang  kepadanya.  Pada  akhirnya,  setelah  perjuangan  yang  keras,  ia  sampai  ke  rumah kekasihnya.

Ia  menemukan  pintu  rumah  itu  terkunci.  Waktu  itu  telah  larut  malam  dan  setiap  suara  akan mengganggu  tetangga.  Maka  ia  mencoba  memanjat  rumah  dan  masuk  melalui  jendela  atas.  Ia berpegang pada ular kobra yang tampak seperti tali yang tergantung, berpikir bahwa ‘tali’ itu segaja dipasang di sana untuknya oleh kekasihnya.

Kekasihnya terkejut ketika melihatnya. Ia tak dapat mengerti mengapa pecintanya berhasil datang, dan kesan cintanya tampak semakin besar dari sebelumnya. Gadis itu seolah-olah diberi inspirasi oleh  cinta  lelaki  itu.  Di  matanya,  lelaki  itu  bukan  lagi  manusia,  tetapi  telah  meningkat  menjadi malaikat, terutama setelah ia tahu bahwa pecintanya telah menganggap mayat sebagai kayu dan ular  kobra  sebagai  tali.  Ia  melihat  bagaimana  kematian  dikalahkan  oleh  lelaki  pecintanya.  Ia berkata  kepadanya,  “Hai  pemuda,  cintamu  lebih  besar  dari  cinta  rata-rata  manusia,  dan  andai cintamu  diperuntukkan  bagi  Allah,  betapa  besarnya  kegembiraan  yang  akan  engkau  peroleh! Karena  itu,  bangkitlah,  angkatlah  cintamu  terhadap  bentuk  dan  materi,  dan  arahkan  cintamu kepada ruh Allah.” Lelaki itu mematuhi saran itu seperti anak kecil, meninggalkan gadis itu dengan berat hati dan sejak itu ia berkelana di dalam hutan-hutan di India.

Bertahun-tahun ia berkelana di hutan-hutan, menyebut-nyebut nama Kekasih ilahinya dan mencari perlindungan  di  dalam  tangan-Nya.  Ia  mengunjungi  tempat-tempat  sakral,  tempat-tempat  ziarah, dan  secara  kebetulan  ia  tiba  di  tepi  sebuah  sungai  sakral,  di  tempat  itu  wanita-wanita  dari  kota datang setiap pagi ketika matahari terbit untuk mengisi tempayan mereka dengan air suci. Surdas, yang duduk di sana sambil memikirkan Allah, terpesona oleh keindahan salah satu wanita yang datang. Karena hatinya adalah lentera, ia tak perlu lama untuk menyala. Ia mengikuti wanita itu. Ketika  memasuki  rumahnya,  wanita  itu  berkata  kepada  suaminya,”Seorang  suci  melihatku  di sungai dan mengikutiku sampai ke rumah, dan ia masih berdiri di luar.

” Si suami segera keluar dan melihat lelaki itu. Ia berkata, “Hai Maharaja, apa yang membuatmu berdiri di situ? Adakah sesuatu yang  dapat  kulakukan  untukmu?”  Surdas  berkata,  “Siapakah  wanita  yang  tadi  memasuki  rumah ini?”  Ia  menjawab,  “Dia  isteriku;  aku  dan  dia  siap  melayani  orang  suci  seperti  anda.”  Surdas berkata, “Suruhlah dia datang, hai orang yang diberkahi, agar aku dapat melihatnya sekali lagi.” Ketika wanita itu keluar, Surdas melihatnya sekali dan berkata, “Hai Ibu, bawakan aku dua buah [paku]  pines.

”  Dan  ketika  benda  yang  diminta  itu  diberikan  kepadanya,  ia  membungkuk  kepada pesona dan kecantikan wanita itu sekali lagi, kemudian menusukkan pines itu ke kedua matanya sambil  berkata,  “Hai  mataku,  engkau  tak  akan  lagi  melihat  dan  tergoda  oleh  keindahan  duniawi dan membawaku turun dari surga ke bumi.”

Maka ia menjadi buta sejak itu; lagu-lagunya mengenai kesempurnaan ilahi masih terus hidup dan dinyanyikan  oleh  orang-orang  India  yang  mencintai  Allah;  dan  bila  seorang  Hindu  buta,  orang memanggilnya Surdas sebagai penghormatan.

“Meskipun aku hanya mencintai satu, tetapi ia abadi,” kata Mohi. Cinta hanya dapat ada bila hanya ada  satu  obyek  di  depan  kita,  bukan  banyak  obyek.  Bila  obyeknya  banyak,  tidak  akan  ada kesetiaan.  “Bila  di  tempat  bagi  satu  terdapat  dua,  keistimewaan  yang  satu  itu  hilang.  Karena alasan itu, aku tak ingin potret kekasihku dibuat.” Yang satu itu ialah Allah, yang tak berbentuk dan tak bernama, yang abadi, yang bersama kita selamanya.

Cinta bagi satu orang, betapa pun dalamnya, tentu berbatas. Kesempurnaan cinta terletak pada ukuran  besarnya.  “Kecenderungan  cinta  adalah  untuk  mengembang,  dari  satu  atom  hingga  ke seluruh alam semesta, dari satu kekasih duniawi hingga Allah.”

Cinta kepada manusia adalah primitif dan tidak lengkap, tetapi diperlukan untuk memulai. Orang tak akan dapat berkata, “Aku mencintai Allah,” bila ia tak memiliki cinta kepada sesama manusia. Namun ketika cinta mencapai kulminasi pada Allah, ia telah mencapai kesempurnaannya.

Cinta menciptakan cinta di dalam manusia dan lebih banyak lagi dengan Allah. Itu merupakan sifat cinta. Bila anda mencintai Allah, Allah mengirimkan cinta-Nya lebih banyak kepada anda. Bila anda mencarinya di malam hari, Dia akan mengikuti anda pada siang harinya. Di mana pun anda, dalam kegiatan  anda,  dalam  transaksi  bisnis,  pertolongan,  perlindungan  dan  kehadiran  ilahi  akan mengikuti anda.

Ungkapan cinta terletak di dalam kekaguman tanpa kata, kontemplasi, pelayanan, perhatian untuk menyenangkan  kekasih,  dan  kehati-hatian  untuk  menghindari  ketidaksukaan  kekasih.  Ungkapan cinta demikian oleh seorang pecinta akan menyenangkan kekasih, yang kebanggaannya tak dapat dipuaskan dengan cara lain. Keridhaan kekasih merupakan satu-satunya tujuan pecinta, tak ada harga yang terlalu mahal untuk memperolehnya.

Sifat keindahan adalah tak sadar akan nilai keberadaannya. Idealisasi pecinta-lah yang membuat keindahan  itu  bernilai,  perhatian  pecinta-lah  yang  menghasilkan  kepastian  keindahan,  suatu kesadaran akan adanya kelebihan, dan gagasan, “Aku bahkan lebih hebat dari yang kupikir.” Bila kebanggaan    dari    suatu    keindahan    duniawi    dapat    dipuaskan    dengan    kekaguman,    maka kebanggaan akan keindahan langit dipuaskan dengan mengagungkan-Nya, keindahan sejati satu- satunya   yang   berhak   atas   segala   pujian.   Tiadanya   kesadaran   dari   pihak   manusia   yang membuatnya  melupakan  keindahan-Nya  dalam  segala  hal  dan  mengakui  tiap  keindahan  secara terpisah,  menyukai  yang  satu  dan  tak  menyukai  yang  lain.  Dalam  pandangan  orang  yang  tahu, mulai dari bagian keindahan terkecil hingga keindahan mutlak alam semesta, semua menjadi satu keberadaan tunggal Kekasih ilahi.

Diceritakan bahwa Allah berfirman kepada Nabi, “Hai Muhammad, andai Kami tidak menciptakan kamu  semua,  Kami  tidak  akan  menciptakan  seluruh  alam  semesta.”  Apa  artinya?  Artinya, keindahan surgawi, keindahan seluruh Keberadaan, dicintai, dikenal dan diagungkan oleh pecinta ilahi,  dipindahkan  ke  kepuasan  yang  sempurna,  berkata  dari  dalam,  “Bagus,  engkau  telah mencintai-Ku  dengan  sepenuhnya.  Andai  bukan  bagi  kamu,  hai  pengagum  keberadaan-Ku,  aku tak  akan  menciptakan  alam  semesta  ini,  di  mana  makhluk-Ku  mencintai  dan  mengagumi  satu bagian  keberadaan-Ku  di  permukaan,  dan  keindahan-Ku  yang  penuh  terhijab  dari  pandangan mereka.”  Dengan  kata  lain,  Kekasih  ilahi  berfirman,  “Aku  tak  punya  pengagum,  meskipun  aku berdiri dihiasi. Sebagian mengagumi gelang-Ku, sebagian mengagumi anting-anting-Ku, sebagian mengagumi kalung-Ku, sebagian mengagumi cincin-Ku; tetapi Aku akan mnemberikan tangan-Ku kepadanya dan menganggap ia mengagumi diri-Ku sendiri. Pada sesiapa yang memahami-Ku dan mengagungkan keberadaan-Ku secara penuh, padanya terletak kepuasan-Ku.”

Filed under: Hikayat Cinta, , , , , , , ,

YUSUF DAN ZULAIHA

skn-3_kisah-nabi-yusufDari kisah Yusuf dan Zulaiha kita belajar bagian keindahan mana yang berperan dalam dunia cinta. Yusuf adalah putera bungsu Yakub, seorang nabi yang dikaruniai kemampuan melihat masa mendatang sebagaimana beberapa pendahulunya. Ia dimasukkan ke dalam sumur oleh kakaknya yang iri atas ketampanan dan pengaruhnya terhadap ayah dan setiap orang yang dijumpainya.
“Bukan hanya cinta itu sendiri, tetapi keindahan juga menuntut pengorbanan.”

Beberapa pedagang yang lewat di situ melihat Yusuf di dalam sumur ketika mereka menimba air, menaikkannya dan menjualnya sebagai budak kepada gubernur Mesir, yang karena tertarik oleh ketampanannya, menjadikannya pembantu pribadi.

Zulaiha, isteri gubernur itu, makin lama makin tertarik oleh ketampanan pemuda itu. Ia berbicara kepadanya, bermain dengannya, mengaguminya, dan di matanya ia mengangkatnya dari budak menjadi seorang raja. Orang yang dikaruniai keindahan selalu menjadi raja, meskipun mereka berpakaian compang-camping atau dijual sebagai budak. “Raja sejati selalu menjadi raja, dengan atau tanpa singgasana.”

Teman-teman dan kenalan Zulaiha mulai menyebarkan desas-desus bahwa ia jatuh cinta pada Yusuf, dan karena manusia secara alami tertarik oleh kesalahan orang lain, hal ini pada akhirnya menempatkan Zulaiha pada posisi yang sulit.

Suatu ketika Zulaiha mengundang teman-teman dan kenalannya, menaruh sebutir jeruk dan sebilah pisau di tangan tiap tamunya, dan meminta mereka untuk mengiris jeruk ketika ia memberi isyarat. Kemudian ia memanggil Yusuf.

Ketika Yusuf datang ia meminta mereka untuk mengiris jeruk, tetapi mata mereka begitu tertarik oleh penampilan Yusuf, hingga mereka bukan memotong jeruk, melainkan mengiris jari-jari mereka sendiri, dan dengan demikian menerakan cinta Yusuf ke atas tangan mereka. “Keindahan merampas kesadaran akan diri dari pecintanya.”

Zulaiha, yang sepenuhnya terpikat oleh Yusuf, melupakan apakah cintanya kepada Yusuf salah atau benar. “Nalar jatuh ketika cinta bangkit.” Mereka menjadi semakin akrab setiap hari hingga sebuah kutukan nafsu datang dan memisahkan mereka.

Ketika bayangan nafsu jatuh pada jiwa Yusuf, Zulaiha kebetulan berpikir menutupi wajah pujaannya yang berada di kamarnya. Hal ini mengejutkan Yusuf sehingga ia bertanya, “Apa yang anda lakukan?” Dijawab, “Aku menutupi wajah tuhanku yang memandang kita dengan mata penuh murka.” Ini menyadarkan Yusuf. Ia melihat visi ayahnya menunjukkan jari ke arah langit.

Yusuf berkata, “Hai Zulaiha, apa yang engkau masukkan ke dalam pikiranku! Mata tuhanmu dapat ditutupi dengan selembar kain, tetapi mata Tuhanku tak dapat ditutupi. Ia melihatku di mana pun aku berada.” “I adalah orang yang mengingat Allah dalam kemarahan, dan takut kepada Allah dalam nafsu,” kata Zafar.

Zulaiha, yang dibutakan oleh kegelapan yang pekat dari nafsunya, tidak tahan, dan ketika Yusuf masih menolak, nafsunya berubah menjadi murka. Ia membenci Yusuf, mengutuknya dan mengingatkannya bahwa kedudukannya adalah sebagai seorang budak yang rendah. Karena itu Yusuf pergi meninggalkan kamar, tetapi Zulaiha menarik pakaian di bagian belakang leher Yusuf hingga robek.

Kebetulan, Gubernur memasuki kamar pada saat itu. Ia terkejut melihat pemandangan di depannya, di mana baik Zulaiha maupun Yusuf tak dapat bersembunyi. Sebelum Gubernur bertanya kepadanya, untuk menyembunyikan kesalahannya, Zulaiha berkata bahwa Yusuf telah berusaha menyentuhnya. Tentu saja hal ini membuat Gubernur marah, dan seketika ia memberi perintah agar Yusuf dipenjara seumur hidup. “Orang yang benar mendapat cobaan lebih banyak dalam hidup daripada orang yang tidak benar.”

Penjara lebih menyenangkan bagi Yusuf yang memegang kebenaran, yang menjaga agar lenteranya tetap menyala dalam kegelapan nafsu ketika menjalani jalur cinta.

Tak lama sebelum kutukan atas Zulaiha pudar, datanglah kesedihan yang dalam. Baginya tiada akhir bagi kesedihan dan penyesalannya. “Cinta mati dalam nafsu, dan lahir kembali dari nafsu.” Tahun demi tahun berlalu, dan kepedihan dalam hati Zulaiha telah menguras daging dan darahnya. Pada satu sisi karena cinta kepada Yusuf, pada sisi lain karena rasa bersalah yang tanpa akhir, dan pendapat bahwa kekasihnya telah dipenjara akibat ulahnya, hampir mengambil hidupnya.

Waktu mengubah segalanya, termakuk kehidupan Yusuf. Meskipun dipenjara, ia tak menyalahkan Zulaiha, dengan alasan cintanya. Setiap hari ia menjadi semakin dalam tenggelam dalam memikirkan Zulaiha , tetapi tetap berpegang pada pendiriannya, yang merupakan tanda orang suci. Ia dicintai dan disukai orang-orang dalam penjara, dan ia menafsirkan mimpi-mimpi mereka bila diminta. Kehadiran Yusuf membuat penjara menjadi surga bagi para narapidana. Tetapi setelah kematian suaminya, Zulaiha jatuh ke dalam kesedihan yang lebih dalam.

Setelah beberapa tahun, Raja (Fir’aun) bermimpi sesuatu yang sangat merisaukannya. Tak ada orang yang mampu menafsirkannya di antara para cerdik pandai. Kemudian ia diberi tahu pelayannya tentang Yusuf dan kemampuannya dalam menafsirkan mimpi. Maka Yusuf dipanggil, dan ia dapat menafsirkannya dengan arif. Dari nasihatnya yang arif, ia sangat banyak membebaskan beban pikiran sang Raja, dan Raja mengangkatnya menjadi kepala perbendaharaan kerajaan, serta memberinya kehormatan dan kekuasaan yang mengangkatnya di mata dunia. “Sesungguhnya kebenaran pada akhirnya akan menang.”

Kemudian kakak-kakaknya datang kepada Yusuf, dan disusul oleh ayahnya, Yakub, yang terbebas dari derita bertahun-tahun yang dialaminya akibat cintanya kepada Yusuf. “Upah dari cinta tak pernah gagal datang kepada pecinta.”

Suatu ketika, Yusuf berkuda bersama pengawalnya, kebetulan melewati tempat di mana Zulaiha menghabiskan hidupnya dalam kesedihan. Ketika mendengar derap kaki kuda, banyak orang yang berlari untuk melihat rombongan yang lewat, dan semua berteriak, “Itu Yusuf, Yusuf!” mendengar teriakan itu, Zulaiha ingin melihat Yusuf sekali lagi. Ketika Yusuf melihatnya, ia tak mengenalinya lagi, tetapi ia berhenti karena beberapa wanita ingin berbicara dengannya.

Ia terharu ketika melihat seorang wanita yang begitu sedih, dan bertanya kepadanya, “Apa yang anda inginkan dariku?” Wanita itu menjawab, “Zulaiha masih memiliki hasrat yang sama, hai Yusuf, dan itu akan berlanjut
di sini dan di akhirat. Aku menginginkan engkau, dan hanya engkau seorang yang kuinginkan.” Yusuf menjadi sangat yakin akan keteguhan cinta wanita itu, dan terharu oleh penderitannya,
menciumnya di keningnya, menarik tangannya dan berdoa kepada Allah. Doa nabi itu dan daya cinta yang tiada henti, telah menarik berkah dari Allah, dan Zulaiha memperoleh kembali kemudaan dan kecantikannya. Yusuf berkata kepada Zulaiha, “Mulai hari ini engkau menjadi kekasihku.” Mereka menikah dan hidup bahagia. “Sesungguhnya Allah mendengarkan dengan penuh perhatian tangisan setiap hati yang merintih.”

Filed under: Hikayat Cinta, , ,

SHIRIN DAN FARHAD

Kekuatan_Cinta_U_499254339e0bbCinta tak pernah tergoda oleh harta dan derajat. Shirin, puteri seorang miskin tetapi kaya akan idealisme, diculik dan dibawa kepada Raja Faras, yang seketika tergila-gila kepadanya, dan memberi hadiah besar kepada orang yang membawanya. Namun raja itu sangat kecewa karena Shirin tidak menanggapi cintanya; idealisme gadis itu terlalu tinggi untuk dapat dibujuk dengan kekayaan dan kebesaran Raja.

Raja melakukan semua hal untuk menyenangkannya dan agar mau menikah dengannya, tetapi setiap upaya berakibat sebaliknya.
Ketika  Shirin  melihat  bahwa  tak  ada  harapan  untuk  lepas  dari  istana  yang  baginya  hanyalah sebuah  sangkar,  dan  kenekadan  raja  dan  pembantu-pembantunya  telah  sangat  menipiskan kesabarannya,  ia  terpaksa  menerima  tawaran  mereka,  tetapi  dengan  satu  syarat,  yaitu  sebuah kanal harus dibuat sebagai monumen memorial atas peristiwa itu. Tentu saja ini merupakan siasat untuk membatalkan pernikahan, karena pembuatan kanal itu memerlukan waktu bertahun-tahun.

Raja begitu tergila-gila oleh kecantikannya hingga ia lalai dalam menangkap isyarat halus itu, dan seketika memberi perintah kepada para arsitek dan insinyur untuk mulai bekerja secepatnya, dan menyelesaikannya  sesegera  mungkin,  tidak  peduli  berapa  biaya  dan  tenaga  yang  diperlukan.

Ribuan pekerja segera terlibat dalam proyek  itu,  dan  pekerjaan  berlangsung  siang-malam  tanpa henti, di bawah pengawasan langsung raja itu sendiri dan pelayan-pelayannya.

Makin dekat ke penyelesaian pekerjaan, makin besar harapan sang raja, dan dengan gembira ia minta  kepada  Shirin  untuk  pergi  melihat  kanal  itu.  Dengan  hati  sedih,  Shirin  pergi  ke  kanal, khawatir kalau-kalau pekerjaan itu segera selesai dan ia harus menyerah kepada kehendak Raja, suatu hal yang dinilainya lebih buruk daripada kematian.

Ketika berjalan melihat proses pekerjaan di mana ribuan orang bekerja siang dan malam, ia sangat terkejut melihat seorang pekerja datang kepadanya;  karena  terpesona  oleh  kecantikannya,  tanpa  takut  ia  berseru,  “Hai  Shirin,  aku  cinta padamu.”    “Cinta    mengabaikan    perbedaan    derajat    antara    pecinta    dan    kekasihnya,    dan mengabaikan ketinggian yang harus didaki seorang pecinta.”

Suara  cinta  dan  perkataan  kebaktian  seperti  itulah  yang  dicari-cari  oleh  Shirin,  dan  belum dijumpainya sebelumnya. Shirin menjawab, “Kalau engkau mencintaiku, pecahlah gunung ini dan buatlah terowongan menembus gunung ini. Emas perlu diuji sebelum diterima.” Farhad langsung berkata, “Dengan senang hati akan kulakukan, Shirin, apapun yang engkau kehendaki. Tak ada sesuatu yang terlalu berat bagi seorang pecinta untuk melakukan sesuatu demi kekasihnya.”

Farhad  berjalan  dengan  sepenuh  hati,  tanpa  bertanya  mengapa  ia  harus  membuat  terowongan, tidak berpikir seberapa banyakpekerjaan yang harus dilakukan. Ia tidak berpikir berapa lama akan selesai,  tidak  pula  berpikir  bahwa  pekerjaannya  akan  sia-sia.  Ia  pergi  ke  gunung  dan  mulai memecah batu dengan kampaknya. Ia menyebut-nyebut nama Shirin setiap kali ia mengayunkan kampaknya.

Setiap  ayunan  tangan  Farhad  mengukir  sebuah  mukjizat.  Setiap  ayunan,  hasilnya seperti hasil kerja seratus ayunan kampak. “Daya manusia adalah kekuatan tubuhnya, tetapi daya cinta  adalah  keperkasaan  Allah.”:  Tak  perlu  waktu  lama  bagi  Farhad  untuk  menyelesaikan pekerjaannya, pekerjaan yang normalnya memerlukan waktu bertahun-tahun dan ribuan pekerja, diselesaikannya dalam beberapa hari seorang diri.

Shirin  menolak  Raja  sejak  ia  melihat  Farhad,  dan  berkata,  “Ada  pecinta  lain  yang  sedang menjalani ujian, dan sebelum aku tahu hasil ujian itu, sebaiknya kita tidak menikah dulu.”

Mata-mata  Raja  mengawasi  Farhad  dari  kejauhan,  dan  mereka  segera  mengirim  berita  bahwa Farhad  telah  menyelesaikan  pekerjaannya  sebelum  kanal  selesai  dibuat.  Raja  begitu  gusar, berpikir  bahwa  Farhad  mungkin  akan  mendapatkan  cinta  Shirin,  dan  dengan  demikian  Shirin bukan menjadi miliknya lagi. Setelah berunding, seorang penasihatnya berkata, “Yang Mulia, anda adalah raja, dan Farhad hanya seorang pekerja.

Mana bisa langit dibandingkan dengan bumi? Aku akan  pergi  ke  sana,  dan  bila  Yang  Mulia  menghendaki,  aku  akan  mengakhiri  Fathad  dalam sekejap.”  “Oh,  jangan.  Shirin  akan  melihat  noda  darah  padaku,  dan  ini  akan  membuatnya menjauhiku  selamanya.”  Seorang  pembantu  raja  berkata,  “Itu  tidak  sulit  bagiku,  Yang  Mulia, mengakhiri hidup Farhad tak perlu dengan meneteskan darah.” “Baiklah, kalau begitu,” kata Raja.

Pelayan   raja   itu   pergi   kepada   Farhad,   yang   hampir   menyelesaikan   pekerjaannya   dengan bayangan   Shirin   yang   memberi   harapan.   “Kebahagiaan   seorang   pecinta   terletak   di   dalam kebahagiaan  kekasihnya.”  Pelayan  raja  berkata,  “Hai  Farhad,  sayang,  semuanya  sia-sia!  Hai pesaing   bulan,   kekasihmu   Shirin   telah   meninggal   secara   tiba-tiba.”   Farhad   berkata   dalam kepanikan, “Apa? Shirinku meninggal?” “Ya,” kata pelayan itu, “Hai Farhad, sayang sekali Shirin telah  tiada.”  Farhad  mengeluh  dalam,  dan  jatuh  ke  tanah.  “Shirin…”  itulah  perkataannya  yang terakhir, dan ia berlalu dari kehidupan ini.

Shirin  mendengar  dari  orang-orang  yang  bersimpati  kepadanya  bahwa  Farhad  telah  melakukan keajaiban  dengan  membuat  terowongan  dalam  gunung  sambil  menyebut  ‘Shirin’  dalam  setiap ayunan kampaknya, dan telah menyelesaikan pekerjaan yang normalnya perlu waktu yang sangat lama, dalam waktu singkat.

Shirin, yang hatinya telah tertambat pada Farhad,  dan  yang  melalui jiwanya cinta Farhad terkoyak, tak memiliki lagi sisa kesabaran barang sedetik, maka ia berangkat ke  gunung  pada  kesempatan  pertama.  “Dua  daya  yang  lebih  tinggi  memisahkan  dua  hati  yang bersatu.” Shirin, yang bernasib baik dapat memiliki pecinta seperti Farhad, tak bernasib cukup baik untuk dapat melihatnya kembali.

Ketika Shirin menemukan jasad Farhad tergeletak di dekat karya mengagumkan yang baru saja diselesaikan baginya, ia merasa sangat tertekan dan kecewa. Mata-mata Raja datang mendekat untuk meyakinkan Shirin bahwa Farhad telah mati, berharap bahwa karena kini Farhad telah tiada, Shirin akan berketetapan hati pada Raja. Mereka berkata, “Farhad yang malang.

Sayang, ia telah mati.” Shirin mendengar dari tiupan angin, dari aliran air, dari batu-batu, dari pohon-pohon, suara Farhad  memanggil,  “Shirin,  Shirin.”  Seluruh  suasana  di  tempat  itu  menarik  jiwa  Shirin  dengan magnetisme cinta yang diciptakan Farhad di sekelilingnya. Ia jatuh ke tanah, terpukul dan merasa sangat  kehilangan  hingga  hatinya  tak  tahan  lagi,  berseru,  “Farhad,  aku  datang  untuk  bisa bersamamu.” Takdir seorang pecinta adalah kekecewaan besar di mata dunia, tetapi ia merupakan kepuasan tertinggi di mata orang-orang bijak.

Orang-orang yang bersifat menyerasikan, mencintai satu sama lain. Mungkin sifat-sifat tubuh-lah yang  menyerasikan  kualitas  mental,  kualitas  jiwa.  Daya  tarik  fisik  hanya  berumur  pendek,  daya tarik emosional berumur agak lama, dan daya tarik spiritual bertahan selamanya.

Cinta yang hanya sedikit diucapkan dapat menyalakan hati lain, cinta yang lebih banyak diucapkan akan menghantuinya, tetapi bila terlalu banyak diucapkan akan menjauhkan obyek cinta.

Hubungan  menghasilkan  teman,  meskipun  tak  ada  hubungan  atau  persahabatan  duniawi  yang abadi.  Dengan  berkumpul,  duduk  bersama,  makan  bersama,  menghirup  udara  yang  sama,  hati  akan  mendekat.  Dua  batubara  yang  menyala,  bila  didekatkan  akan membuat  satu  api.

Api  itu menyatukan keduanya. Bila dua tangan bergandengan, suatu arus listrik mengalir dari satu tangan ke tangan yang lain. Inilah alasan orang berjabat tangan, agar api kedua orang bertemu. Karena itu orang berkecenderungan untuk bertepuk tangan, melipat tangan dan menyilangkan kaki ketika duduk  atau  berbaring,  karena  memberi  mereka  kenyamanan.  Inilah  yang  menyebabkan  adanya kemiripan yang ada pada orang-orang dalam satu bangsa atau suatu ras.

Cinta  cenderung  menghasilkan  kualitas,  bahkan  kemiripan,  antara  pecinta  dan  yang  dicintai. Seringkali kita melihat sahabat, suami-isteri, sepasang kekasih, mursyid dan murid, pada saatnya menjadi  mirip.  Potret  berbagai  Syekh  pada  aliran  Chistiyah  semuanya  seolah-olah  mereka  itu dibuat  dalam  cetakan  yang  sama.  Seseorang  yang  pergi  jauh  dari  negerinya  dan  hidup  lama  di negeri lain, menjadi akrab dengan negara itu, menyukainya, dan kadang-kadang tak ingin pulang ke negerinya sendiri, disebabkan oleh cinta yang terbentuk oleh pergaulan.

Pertemuan  itu  menyulut  cinta,  dan  perpisahan  membuyarkan  cinta.  Makin  jauh  obyek  cinta  dari jangkauan  pecintanya,  makin  lebar  bentangan  yang  ada  bagi  perluasan  cinta.  Karena  itu  cinta terhadap  obyek  yang  tak  dapat  diperoleh  memiliki  kemungkinan  untuk  berkembang,  sedangkan bila  obyek  cinta  berada  dalam  jangkauan  hal  ini  sering  membatasi  cinta.  Bila  perpisahan berlangsung pendek, cinta akan bertambah, tetapi bila terlalu lama, cinta itu mati. Bila pertemuan hanya  sebentar,  cinta  akan  tersulut,  tetapi  sulit  untuk  mempertahankan  apinya.

Bila  pertemuan berlangsung lama, cinta tak banyak terpengaruh, tetapi berakar hingga tumbuh, berkembang dan berlangsung lama. Dalam ketidakhadiran kekasih, harapan merupakan minyak yang membuat api cinta menyala. Pertemuan dan perpisahan pada gilirannya akan membuat api cinta menggelora. Terlalu lama bertemu akan mengecilkan api cinta, dan terlalu lama berpisah akan mematikan api karena kehabisan minyak.

Kita  mungkin  tinggal  setahun  di  sebuah  kota,  dan  mungkin  kita  mengenal  dan  menyukai  orang- orang di sana, dan mereka pun sangat menyukai kita, hingga cinta bertambah dan kita berpikir, “Andai kita dapat terus tinggal di sana!” Ketika kita pergi, selalu terasa berat untuk berpisah dari mereka. Kemudian kita pergi, kawan-kawan kita menulis surat dan kita menjawabnya, mula-mula tiap  hari,  kemudian  tiap  minggu,  kemudian  tiap  bulan,  dan  frekuensinya  terus  berkurang  hingga hanya tiap Hari Raya saja, karena kita tumbuh terpisah dan hanya sedikit urusan dengan mereka dan  lebih  banyak  berurusan  dengan  orang-orang  yang  kini  berada  di  sekeliling  kita.  Bila  kita kembali ke tempat yang sama setelah lima atau enam tahun, mula-mula kita merasakan bahwa iklimnya asing bagi kita, jalan-jalan dan rumah-rumah tampak asing, dan tak ada lagi kehangatan yang dulu ada.

Bila kita bodoh, kita akan menyalahkan kawan-kawan. Bila kita tahu, kita pun akan menyalahkan  diri  sendiri.  Kebersamaan-lah  yang  meningkatkan  cinta  dan  perpisahan-lah  yang mengikis cinta, demikian pula dengan keterikatan kita pada tempat-tempat.

Filed under: Hikayat Cinta, , ,

FILSAFAT CINTA

cover_MEMAHAMI FILSAFAT CINTADalam perjalanan menuju manifestasi, jiwa melewati empat keadaan, ‘Ilm, ‘Ishq, Wujud, Shuhud. ‘Ilm adalah keadaan awal dari kesadaran, kecerdasan murni. ‘Ishq adalah cinta, tahap kecerdasan berikutnya menuju manifestasi; karena itu kecerdasan dan cinta sama unsurnya.

Benda-benda seperti batu dan tumbuh-tumbuhan, tak memiliki kecerdasan, sehingga tak memiliki cinta, kecuali suatu persepsi kecil tentang cinta yang ada di dalam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Tetapi di antara hewan dan burung-burung, kecerdasan berkembang, sehingga cinta di dalam diri mereka dapat menunjukkan diri. Wujud adalah dunia obyektif, yang diciptakan untuk dicintai, karena cinta
tak dapat diwujudkan bila tak ada sesuatu yang dicintai. Shuhud adalah realisasi pengalaman cinta dalam aspek apapun.

Kata cinta, dalam bahasa Inggris ‘love’, dalam bahasa Sanskrit ‘Lobh’, berarti keinginan, hasrat. Cinta adalah hasrat untuk menyadari sesuatu yang dicintai. Karena itu, Shuhud, realisasi cinta, merupakan satu-satunya tujuan setiap jiwa. Cinta, dalam berbagai aspeknya, dikenal pula dengan sebutan: kehendak, keinginan, hasrat, kebaikan, suka, dan lain-lain.

Di dalam cinta terdapat segala pengetahuan. Cinta manusia dan ketertarikannya kepada sesuatu, pada saatnya akan membuat sesuatu itu mengungkapkan rahasianya, sehingga manusia dapat mengetahui bagaimana cara mengembangkan, mengendalikan, dan memanfaatkannya. Tak seorang pun dapat mengetahui seseorang, sebesar apapun keinginannya untuk tahu, kecuali dengan cinta, karena tanpa cinta, mata ruhani buta; hanya mata luar yang terbuka, dan mata luar hanyalah semacam kaca mata bagi mata ruhani. Bila pandangan tidak tajam, apa manfaat kaca mata? Karena itulah kita mengagumi semua yang kita cintai, dan kita buta terhadap kebaikan orang yang tidak kita cintai. Bukan karena mereka berhak kita abaikan, tetapi tanpa cinta, mata kita tak dapat melihat kebaikan mereka.

Seseorang atau sesuatu yang kita cintai mungkin mempunyai keburukan pula, tetapi karena cinta melihat keindahan, kita hanya melihat kebaikan itu.

Kecerdasan sendiri dalam langkah selanjutnya menuju manifestasi adalah cinta. Ketika cahaya cinta telah dinyalakan, hati menjadi transparan, hingga kecerdasan jiwa dapat melihat melaluinya. Namun sebelum hati dinyalakan dengan api cinta, kecerdasan, yang senantiasa berupaya untuk mengalami hidup di permukaan, meraba-raba dalam kegelapan.

Seluruh alam semesta diciptakan untuk cinta. Manusia adalah yang paling mampu melakukannya. Bila kita memiliki batu di dalam rumah dan kita sangat menyukainya, batu itu tidak akan menyadari cinta kita sejauh yang disadari oleh tumbuh-tumbuhan. Bila kita memiliki sebuah tanaman dan kita memeliharanya dengan rasa sayang, ia akan bereaksi dan akan tumbuh. Hewan dapat merasakan kasih sayang. Bila kita memelihara hewan di rumah, mereka akan lebih banyak merasakan cinta dan perhatian! Hewan piaraan pada waktunya akan menjadi pengasih seperti anggota keluarga.

Anjing Nabi Yusuf telah memberi makan kepada tuannya ketika beliau berada di dalam sumur sampai beliau ditemukan oleh orang yang berjalan melalui tempat itu. Dikisahkan, kuda seorang Arab yang tewas di medan perang tetap menungguinya selama tiga hari, menjaga mayatnya dari burung pemakan bangkai, sampai ia ditemukan kawannya. Tetapi manusia, yang memiliki kecerdasan terbanyak, memiliki cinta terbanyak secara alamiah.

Semua ini menunjukkan bahwa ciptaan telah berevolusi dari mineral ke tumbuh-tumbuhan, dari tumbuh-tumbuhan menjadi kehidupan hewan, dan dari hewan ke manusia, berupa perkembangan cinta secara bertahap.

Para Sufi berkata bahwa alasan penciptaan adalah karena Yang Mahasempurna ingin mengetahui
diri-Nya, dan melakukannya dengan membangkitkan cinta dari sifat-Nya dan membuatnya menjadi obyek cinta, yang merupakan keindahan. Dengan makna ini, para darwis saling menghormati satu sama lain dengan berkata, “Ishq Allah, Ma’bud Allah” — ‘Allah adalah cinta dan Allah adalah [kekasih] yang dicintai.’ Seorang penyair Hindustan berkata, “Hasrat untuk melihat kekasih membawaku ke dunia, dan hasrat yang sama untuk melihat kekasih membawaku ke surga.”

Karena cinta merupakan sumber ciptaan dan pemelihara nyata dari semua keberadaan, maka, bila manusia tahu bagaimana cara memberikannya kepada dunia di sekelilingnya sebagai simpati, sebagai kebaikan, pelayanan, ia memberi kepada semuanya makanan kepada setiap jiwa yang lapar. Jika orang mengetahui rahasia hidup ini ia akan menguasai dunia dengan pasti.

Cinta selalu dapat dikenal di dalam gagasan, ucapan, dan perbuatan orang yang mencintai, karena setiap ekspresinya terdapat kehangatan yang muncul sebagai keindahan, kelembutan, dan kehalusan. Hati yang terbakar oleh api cinta cenderung untuk melelehkan setiap hati yang dijumpainya.

Cinta menghasilkan pesona pada pecinta sehingga sementara ia mencintai seseorang, semua mencintai pecinta itu. Magnetisme cinta dijelaskan oleh seorang penyair Hindustan: “Mengapa tidak semua hati dilelehkan menjadi tetesan-tetesan oleh api yang dipelihara hatiku sepanjang hidupku? Karena sepanjang hidup aku meneteskan air mata derita karena cinta, pecinta berkunjung ke kuburku penuh dengan air mata.

” Untuk mengajarkan cinta, Nabi Isa berkata, “Aku akan membuatmu menjadi pemancing manusia.” Jalaluddin Rumi berkata: “Setiap orang tertarik kepadaku, untuk menjadi sahabatku, tapi tak seorang pun tahu apa di dalam hatiku yang menariknya.”

Cinta itu alami dalam setiap jiwa. Semua pekerjaan dalam hidup, penting atau tak penting, dalam suatu cara cenderung ke arah cinta; karena itu tak seorang pun di dunia yang dapat disebut sepenuhnya tanpa cinta. Cinta adalah sesuatu yang dibawa setiap jiwa ke dunia, tetapi setelah tiba di dunia, orang berperan dalam semua kualitas tanpa cinta. Andai tidak, kita pasti sudah pahit, cemburu, marah, dan penuh kebencian ketika kita lahir. Bayi tak punya kebencian. Anak kecil yang kita sakiti, dalam beberapa menit akan datang dan memeluk kita.

Mencintai, memuja seseorang yang berhubungan dengan kita baik dalam hal kelahiran, ras, kepercayaan atau hubungan duniawi lain, datang dari cinta jiwa. Kadang-kadang jatuh cinta pada pandangan pertama, kadang-kadang kehadiran seseorang menarik kita seperti magnet, kadang- kadang kita melihat seseorang dan merasa, “Mungkin aku telah mengenalnya.” Kadang-kadang kita berbicara dengan orang lain dan merasakan mudah memahami seolah-olah kedua jiwa saling mengenal. Semua ini berkaitan dengan ‘pasangan jiwa’.

Hati yang tercerahkan dan cinta lebih berharga daripada semua permata di dunia. Ada berbagai macam hati sebagaimana adanya berbagai macam unsur di dunia. Pertama, hati dari metal perlu lebih banyak waktu dan lebih banyak api cinta untuk memanaskannya, setelah panas ia akan meleleh dan dapat dibentuk menurut kehendak ketika itu, namun kemudian menjadi dingin kembali. Kedua, hati yang terbuat dari lilin, yang segera meleleh ketika bersentuhan dengan api, dan bila mempunyai sumbu ideal, ia akan mempertahankan api itu hingga lilin habis terbakar. Ketiga, hati dari kertas yang dapat menyala dengan cepat ketika bersentuhan dengan api dan berubah menjadi abu dalam sekejap.

Cinta itu seperti api. Nyalanya adalah pengorbanan, apinya adalah kearifan, asapnya adalah keterikatan, dan abunya adalah keterlepasan. Api muncul dari nyala, demikian pula kearifan yang muncul dari pengorbanan. Bila api cinta menghasilkan nyala, ia menerangi jalan, dan semua kegelapan lenyap.

Bila daya-hidup bekerja di dalam jiwa, itu adalah cinta; bila bekerja di dalam hati, itu adalah emosi, dan bila bekerja di dalam tubuh, itu adalah nafsu. Karena itu orang yang paling mencinta adalah

yang paling emosional, dan yang paling emosional adalah yang paling bernafsu, sesuai dengan dataran yang paling disadarinya. Bila ia bangkit di dalam jiwa, ia mencintai; bila bangkit di dalam hati, ia emosional; bila sadar akan tubuh, ia bernafsu. Ketiganya dapat digambarkan dengan api, nyala api, dan asap. Cinta adalah api di dalam jiwa, ia adalah nyala api bila hati dinyalakan, dan ia adalah asap bila ia menjelma melalui tubuh.

Cinta pertama adalah bagi diri sendiri. Bila dicerahkan, orang melihat manfaatnya yang sejati dan ia menjadi orang suci. Tanpa cahaya pencerahan, manusia menjadi egois hingga ia menjadi setan. Cinta kedua diperuntukkan bagi lawan jenis kelamin. Bila demi cinta, ia bersifat surgawi; dan bila demi nafsu, ia bersifat duniawi. Bila cukup murni, cinta ini tentu dapat menghilangkan gagasan tentang diri sendiri, tetapi manfaatnya tipis dan bahayanya besar. Cinta ketiga diperuntukkan bagi anak-anak, dan ini merupakan pelayanan pertama bagi makhluk Allah.

Memberikan cinta kepada anak-anak, adalah memanfaatkan dengan sebaik-baiknya apa yang dipercayakan oleh Pencipta, tetapi bila cinta ini meluas hingga mencakup seluruh ciptaan Allah, hal ini mengangkat manusia menjadi orang-orang pilihan Allah.

Cinta orang tua kepada anak-anaknya jauh lebih besar daripada cinta akan-anak itu kepada orang tuanya, karena semua pemikiran penggunaan tua terpusat pada anak, tetapi cinta anak mula-mula terpusat pada diri sendiri. Muhammad s.a.w.

ditanya seseorang, “Cinta siapa yang lebih besar, cinta anak-anak kepada orang tua mereka, atau cinta orang tua kepada anak-anaknya?” Beliau menjawab, “Cinta orang tua lebih besar, karena sementara melakukan semua hal, mereka berpikir bagaimana agar anaknya tumbuh dan bahagia, seolah-olah ia mengharap untuk hidup di dalam kehidupan anak-anaknya setelah ia mati; sementara anak-anak yang saleh berpikir bahwa suatu hari orang tuanya akan mati, dan dengan demikian mereka hanya sebentar dapat melayani orang
tua mereka.” Orang itu bertanya, “Cinta ayah atau ibu-kah yang lebih besar?” Nabi menjawab, “Ibu. Ia berhak memperoleh penghormatan dan pelayanan, karena surga terletak di bawah kakinya.” Cinta orang tua adalah cinta yang paling diberkahi, karena cinta mereka sebening kristal.

Alkisah, Shirvan Bhagat adalah anak yang sangat berbakti kepada orang tuanya yang sangat tua, hingga tak berdaya dan sepenuhnya bergantung kepada pelayanan anak lelaki satu-satunya. Shirvan begitu berbakti kepada mereka hingga ia mengorbankan kebebasan dan kesenangan hidup agar dapat melayani mereka. Dengan lembut ia memenuhi setiap panggilan mereka, dan dengan sabar menghadapi semua kesulitan yang berkaitan dengan ketuaan mereka.

Suatu hari, orang tua itu berkata bahwa mereka sangat ingin berziarah ke Kashi. Anak yang saleh itu seketika menyetujui kehendak mereka, dan karena pada saat itu belum ada kendaraan, mereka pergi berjalan kaki. Ia membuat keranjang, memasukkan orang tuanya ke dalamnya, mengangkutnya dengan punggungnya, dan menempuh perjalanan ribuan mil melalui hutan, pegunungan, dan sungai-sungai.

Ia menempuh perjalanan itu berbulan-bulan, tetapi sebelum sampai, nasib malang menimpa. Atas perintah orang tuanya, Shirvan meletakkan keranjangnya di tanah dan pergi untuk mengambil air. Ketika berada di dekat sungai, ia terkena panah Raja Destaratha, yang sebenarnya diarahkan kepada seekor kijang. Mendengar teriakan manusia, Raja itu datang kepadanya, dan menangis sejadi-jadinya. Ia berkata, “Adakah sesuatu yang dapat kulakukan untukmu?” Shirvan berkata,”Aku sedang sekarat. Aku hanya punya satu keinginan, yaitu memberi air kepada orang tuaku;
mereka haus karena terik matahari.” “Hanya itu? Aku akan melakukannya dengan senang hati sebagai tugas pertamaku.” Shirvan berkata, “Bila tuan ingin melakukan yang lain, maka rawatlah
mereka dan pastikan bahwa mereka dibawa ke Kashi, meskipun aku ragu apakah mereka akan hidup lebih lama setelah aku pergi.”

Raja itu pergi, membawa air di tangannya dan memberikannya kepada orang tua itu tanpa mengucapkan sepatah kata, khawatir mereka tidak akan mau minum bila mendengar suara orang asing. Orang tua itu berkata, “Hai anakku, sepanjang hidup, kami tak pernah melihatmu sedih. Ini adalah pertama kali engkau memberi kami air tanpa mengucapkan kata cinta yang selalu memberi kami hidup baru.” Raja Destaratha menangis, dan menceritakan kematian Shirvan. Mendengar itu, mereka tak dapat lagi hidup untuk menikmati air itu. Mereka hanya hidup karena anak mereka, mereka menarik napas dalam, berkata “Oh, anakku Shirvan”, dan meninggal.

Kisah di atas menjadi tradisi di India, dan ada pengikut dari tradisi itu yang membawa keranjang di pundaknya ke mana-mana, mengajarkan kebaktian dan pelayanan kepada orang tua.

Bila cinta dipusatkan pada satu obyek, ia adalah cinta. Bila diarahkan ke beberapa obyek, ia disebut kasih. Bila seperti kabut, ia disebut nafsu. Bila cenderung kepada moral, ia adalah kebaktian. Bila diperuntukkan bagi Allah, Yang Mahaberada dan Mahaperkasa, yang merupakan Keberadaan Total, ia disebut cinta ilahi, pecinta itu disebut suci.

Tiada daya yang lebih besar daripada cinta. Semua kekuatan muncul ketika cinta bangkit di dalam hati. Orang berkata, “Ia berhati lembut, ia lemah,” tetapi banyak orang yang tidak tahu kekuatan apa yang muncul dari hati yang menjadi lembut dalam cinta. Seorang serdadu bertempur di medan perang demi cinta kepada rakyatnya. Setiap pekerjaan yang dilakukan dalam cinta, dilakukan dengan seluruh daya dan kekuatan. Khawatir dan alasan, yang membatasi daya, tak mampu melawan cinta. Seekor induk ayam, meskipun sangat takut, dapat melawan seekor singa untuk melindungi anak-anaknya. Tiada sesuatu yang terlalu kuat bagi hati yang mencintai.

Daya cinta menyelesaikan semua urusan dalam hidup sebagaimana daya dinamit yang mengalahkan dunia. Dinamit membakar segala sesuatu, demikian pula cinta: bila terlalu kuat ia menjadi roda pemusnah, dan segalanya menjadi salah dalam hidup pecinta. Itulah misteri yang menjadi penyebab penderitaan hidup seorang pecinta. Namun, pecinta itu mengambil manfaat dalam kedua kasus. Bila ia menguasai keadaan, ia seorang penguasa (master). Bila ia kehilangan semuanya, ia orang suci.

Cinta mengatasi [berada di atas] hukum, dan hukum berada di bawah cinta. Keduanya tak dapat dibandingkan. Yang satu dari langit, yang satu dari bumi. Bila cinta mati, hukum mulai hidup. Maka, hukum tak pernah menemukan tempat bagi cinta, demikian pula cinta tak dapat membatasi diri dengan hukum; hukum itu terbatas, dan cinta itu tak berbatas. Seseorang tak dapat memberi alasan mengapa ia mencintai orang tertentu, karena tiada alasan bagi segalanya kecuali cinta.

Waktu dan ruang berada di dalam genggaman cinta. Perjalanan ribuan kilometer terasa hanya beberapa meter dalam kehadiran orang yang dicintai, dan beberapa meter terasa ribuan kilometer tanpa kehadirannya. Satu hari berpisah dalam cinta sama dengan seribu tahun, dan seribu tahun bersama kekasih terasa hanya sehari.

Bila ada pengaruh yang melindungi di dunia ini, itu tak lain dari cinta. Dalam segala aspek kehidupan, ke mana pun kita mencari perlindungan, motifnya selalu cinta. Tak seorang pun dapat mempercayai suatu perlindungan, betapa pun besarnya, kecuali perlindungan yang diberikan oleh cinta. Kalau seorang raksasa menakuti seorang anak kecil, anak itu akan berkata, “Aku akan katakan kepada ibuku.” Daya kekuatan manusia terlalu kecil bila dibandingkan dengan perlindungan cinta yang diberikan ibu kepada anaknya.

Cinta dapat menyembuhkan lebih dari apa pun di dunia. Tak ada sesuatu seperti sentuhan seorang ibu ketika anaknya menderita sakit. Tak ada penyembuh yang lebih baik daripada kehadiran orang yang dikasihi bila seorang pecinta sakit. Bahkan anjing dan kucing pun disembuhkan dengan sedikit sentuhan cinta.

Untuk membaca pikiran, untuk mengirimkan dan menerima pesan telepati, orang mencoba proses- proses fisik dengan sia-sia. Andai mereka tahu bahwa rahasia semua itu berada di dalam cinta! Seorang pecinta mengetahui semuanya: kesenangan, kesedihan, pikiran dan imajinasi orang yang dicintainya. Tiada ruang atau waktu yang menghalanginya, karena arus telepati secara alami terjadi antara pecinta dan kekasihnya. Imajinasi, pikiran, mimpi dan visi seorang pecinta, semuanya mengungkapkan segala sesuatu tentang obyek yang dicintainya.

Konsentrasi, yang merupakan rahasia setiap pencapaian dalam hidup, dan faktor terpenting dalam semua aspek hidup, terutama dalam jalur agama dan mistisisme, merupakan bal yang alami dalam cinta. Orang tanpa cinta akan menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam jalur ini, dan akan selalu gagal untuk memusatkan pikiran mereka pada satu obyek. Tetapi cinta memaksa pecinta, menahan visi tentang kekasihnya di depan pandangannya. Maka pecinta tak perlu berkonsentrasi dalam pikirannya. Cintanya sendiri adalah konsentrasi yang memberinya penguasaan atas semua hal di dunia. Pecinta itu mencapai cintanya dan daya konsentrasi sekaligus. Bila ia tak mencapai obyeknya, maka ia terangkat ke atasnya. Dalam kedua kasus, pecinta itu memperoleh upahnya.

Filed under: Hikayat Cinta, , , ,

RSS Indo Flasher Mobile Phone

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Mau Bisnis Pulsa???

server
Bisnis Server Pulsa, mo bisnis server pulsa elektrik all operator tapi bingung cara mulainya? Lanjuuut >>

Pulsa Murah Proses Cepat

supplier pulsa
Stok Pulsa All Operator, Cari Pulsa Murah Disini Tempatnya... Lanjuuut >>

Tips Tawar Menawar Harga Rumah

Info Property
Ada seni & trik tersendiri yang diperlukan orang saat jual beli barang. Yakni, bagaimana tawar-menawar harga.

Indo Flasher

ufs3
Cara Mudah Belajar Service Handphone dengan Ahlinya ada di sini nih..
Baca Selengkapnya »

Elektronik HOBY

Elektronik Hoby
Cara Mudah Belajar ELEKTRONIK dengan Ahlinya ada di sini nih..
Baca Selengkapnya »
Master Digital

bisinis mlm
Server Pulsa

Video Tutorial IM Mau..???

"Video Tutorial" Desaind WebSite & Menghasilkan PASIVE INCOME Mau??? Password aksess :allnitecafe
Klik Disini>>

Top Clicks

  • Tidak ada

Download Skematik Elektronik

Pengunjung ke :

  • 448.113 Pengunjung
free counters

Tukeran Link Yuk Taruh Script Ini Di Blog anda & saya akan Link Balik

<a title="allnitecafe" href="https://allnitecafe.wordpress.com/" target="_blank"> <img src="https://allnitecafe.files.wordpress.com/2009/08/master-digital.gif" border="0" alt="allnitecafe" /></a>
Master Digital Software Pulsa Elektrik